Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Santap Berlauk "Makian" ala Surabaya

Kompas.com - 26/09/2013, 15:47 WIB
Pengantar Redaksi

Beragam suku dan bangsa berkelindan membentuk kelezatan aneka santapan yang mengolah hasil laut dari Selat Madura. Jelajah Kuliner Nusantara menapaki sejarah interaksi beragam latar budaya di kota-kota pesisir Selat Madura. Selat itu tak hanya menjadi sumber segala bahan pangan, tetapi juga menjadi medan akulturasi beragam budaya yang memengaruhi kulinernya. Sebagian kisahnya akan tersaji di harian Kompas, 26-29 September 2013.

***

Tangan Yuni hampir tak pernah berhenti melayani para pelanggan lontong balap racikannya di Jalan Tentara Pelajar, Surabaya, Jawa Timur. Kesibukan yang penuh tawa, gara-gara para pelanggannya tak pernah berhenti berperang kata dengan jenaka. Kalau ingin merasakan atmosfer suroboyoan, jelajahilah warung embongan alias warung tepian jalan.

Yuni semringah melihat Freddy (65) memasuki warung tendanya. ”Lontong, Om?” sapa Yuni akrab. ”Ya,” sahut Freddy yang tampak santai dengan kaus berkerah, celana pendek, dan topi petnya.

”Tidak pernah kelihatan Om,” ujar Yuni meracik potongan lontong, irisan tahu, lalu cekatan menuang sayur taoge ke piring. Lelaki peranakan Tionghoa itu tak menjawab, tangannya malah sibuk memilih lentho, lauk lontong balap racikan Yuni.

Yuni menyerahkan sepiring lontong balap berikut sate kerang memerah, Freddy langsung menyantapnya. Ia menguping aneka percakapan di kiri-kanan. Lalu, serius mendengarkan Widayat, suami Yuni, menceritakan riwayat Warung Lontong Balap Cak Jersy yang dirintis ayahnya, Cak Tari. Tanpa permisi, Freddy memotong cerita Widayat.

Sampeyan kudu eruh, Widayat ini bojone lima, sing sah situk (Jawa: Anda harus tahu, Widayat ini punya lima istri, tetapi yang sah hanya satu),” kata Freddy keras-keras. Seisi warung langsung menoleh, tertawa. Begitu pula Widayat dan Yuni.

Om, ojo ngono ta Om, mengko ngelu ndasku Om (Om, jangan begitulah Om, nanti pusing kepala saya),” kata Yuni terkekeh mendengar gurauan Freddy.

”Jangan mau tambah istri, satu saja cukup,” kata Freddy kepada Widayat sambil terus melahap lontong balapnya. Freddy menyebut, yang namanya istri harus dihormati, tak bisa diperlakukan serampangan. Jangan kaget, caranya berwejang khas gaya arek Suroboyo, tembak langsung, dengan ungkapan tak terduga.

Kirik ki lho, nek dikongkon lungguh, lungguh. Tapi nek bojo, gak isa dikonokna. Bojo dikongkon lungguh malah mblayu. Rabi iku, ya ngeloni, ya mbandani, ya ngragati,” kata Freddy serius.

Mereka yang terbiasa dengan bahasa Jawa halus bisa terperangah mendengar ungkapan Freddy. Padahal, yang ia sampaikan bahwa seorang istri tak bisa diperlakukan seenaknya. Menikah itu berarti harus siap menyayangi, membagi harta, juga membiayai kebutuhan hidup istri dan keluarga.

Seisi warung Yuni dan Widayat tertawa mendengar ungkapan Freddy. Pelanggan Yuni lainnya, Imam Slamet (47), menimpali ujaran Freddy. ”Ya sapa sing gelem dikeloni thok gak diragati Om (siapa yang mau kalau cuma dikeloni, tetapi ditelantarkan),” kata Imam Slamet. Imam sama sekali tak mengenal Freddy, dan baru bersua di situ. Freddy tak marah ditimpali orang muda seperti Imam, ia tersenyum-senyum saja sambil melanjutkan sarapannya.

Bukan raja, melainkan kawan

Di Surabaya para pengunjung warung-warung di pinggir jalan tidak pernah menjadi raja. Di sana, mereka menjadi kawan si penjual, juga kawan pengunjung yang lain. Orang tak perlu saling mengenal untuk bisa saling meledek, semuanya tercipta dalam suasana riang. Semua urusan, mulai dari dapur sampai kamar tidur, biasa dipercakapkan tanpa malu-malu.

Guyonan asal yang akrab di warung Widayat juga hadir di warung tenda Cak Mis (42) di Jalan Bintoro, Surabaya. Setiap sore, deretan mobil, sepeda motor, dan becak selalu mengepung warung tenda Cak Mis, bersantap nasi bali khas Surabaya, dengan beragam lauk, dan tentu saja menjumpai Cak Mis.

Begitu mengambil sejumlah nasi bungkus dan lauk, kami duduk lesehan dan bersantap sambil menanti datangnya sinom, jamu khas Surabaya. Namun, belum lagi sinom datang, kami sudah kena semprot Cak Mis gara-gara bolak-balik mengambil lauk.

Njukuk lepek po’o. Wong nggawe lepek gak leren mbayar ae lho! (Pakai tatakan saja. Memakai tatakan tidak perlu bayar!),” ujar Cak Mis pedas, ngomel-ngomel. Jangan kaget, banyak pelanggan justru datang karena kangen ingin ”dimaki” dan balas ”memaki” Cak Mis.

Misalnya, Ahmad. Buat Ahmad, cara Cak Mis memarahi jauh lebih lunak dibandingkan makiannya sepuluh tahunan lalu saat ”memaki” pembelinya dengan jancuk! dan dibalas lagi dengan makian jancuk. ”Koen kok seiki gak misuhan Mis (Kok kamu tidak rajin lagi memaki, Mis)?” ujar Ahmad bertanya karena penasaran.

Leren. Aku diseneni anakku, anakku saiki wis SMA je. Jarene, ’Bapak kakehan model’ (Berhenti. Saya diomeli anak saya, dia kan sekarang sudah SMA. Katanya, ’Bapak terlalu banyak tingkah’,” ujar Mis tertawa. Namun, Cak Mis tetap saja pintar mengocok perut dengan deretan penamaan santapan dan layanan yang unik: pakan doro alias dadar jagung, kerisdayanti alias sate usus, kolam renang alias kobokan untuk mencuci tangan, dan banyak lagi.

Banyak orang bertingkah lucu agar dagangannya laris, tetapi Cak Mis tak perlu bertingkah lucu untuk membuat orang tertawa. Dia ”memaki-maki” pun pelanggannya tertawa-tawa.

Khas kota bandar

Antropolog Universitas Negeri Malang, Abdul Latif Bustami, menyebutkan, riang dan gaduhnya warung-warung di Surabaya tidak lepas dari sejarah Surabaya sebagai kota bandar. Toleransi tinggi dan sifat egaliter terbentuk karena Surabaya menjadi kota bagi semua orang.

”Fenomena keakraban di warung-warung Surabaya itu sebenarnya fenomena yang umum di sejumlah kota bandar di Nusantara. Sebagai kota yang selama ratusan tahun menjadi bagian dari perdagangan internasional, segala macam orang dari beragam latar budaya tinggal di Surabaya. Semua orang belajar bertoleransi, sekaligus menikmati kelonggaran hubungan patron-klien. Di warung ataupun di luar warung, semua orang menempatkan diri setara,” kata Bustami.

Nilai-nilai egalitarian itulah yang menopang sifat terbuka. Segala bentuk komunikasi yang bisa disalahartikan pun dipupus sehingga orang Surabaya selalu dikenal karena pilihan ungkapan dan kata yang sederhana, tegas, dan bernas, seperti ungkapan Freddy tadi.

Penikmat kuliner Surabaya, Dukut Imam Widodo, mencatat, orang Surabaya terbiasa berpikir sederhana dan tak berbelit, dan itu tampak dari beragam nama kulinernya. Dukut juga tak mau berbelit saat memberi judul bukunya yang membedah beragam kuliner khas Surabaya. Judulnya, Monggo Dipun Badhog, artinya ya silakan dimakan.

”Ini soal cita rasa berbahasa, dan itu dipengaruhi latar belakang budaya orangnya. Orang Surabaya memang tak pernah menyebut ’makan’ dengan kata dahar yang lazim dipakai di kalangan priayi Jawa. Buat orang Surabaya, makan itu ya mbadog, aktivitas yang rileks yang tak terbelenggu pranata-pranata,” kata Dukut.

Itulah jika Anda tiba-tiba mendengar kata ”makian” di warung tepi jalanan di Jawa Timur, jelas bukan pertanda benci, melainkan rasa persahabatan yang sederhana.... (Aryo Wisanggeni dan Ingki Rinaldi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Deal With Ascott 2024 Digelar Hari Ini, Ada Lebih dari 60 Properti Hotel

Deal With Ascott 2024 Digelar Hari Ini, Ada Lebih dari 60 Properti Hotel

Travel Update
4 Tempat Wisata Indoor di Kota Malang, Alternatif Berlibur Saat Hujan

4 Tempat Wisata Indoor di Kota Malang, Alternatif Berlibur Saat Hujan

Jalan Jalan
3 Penginapan di Rumpin Bogor, Dekat Wisata Favorit Keluarga

3 Penginapan di Rumpin Bogor, Dekat Wisata Favorit Keluarga

Hotel Story
Pendakian Rinjani 3 Hari 2 Malam via Sembalun – Torean, Perjuangan Menggapai Atap NTB

Pendakian Rinjani 3 Hari 2 Malam via Sembalun – Torean, Perjuangan Menggapai Atap NTB

Jalan Jalan
Rekomendasi 5 Waterpark di Tangerang, Harga mulai Rp 20.000

Rekomendasi 5 Waterpark di Tangerang, Harga mulai Rp 20.000

Jalan Jalan
Tips Pilih Kursi dan Cara Hindari Mual di Pesawat

Tips Pilih Kursi dan Cara Hindari Mual di Pesawat

Travel Tips
4 Playground di Tangerang, Bisa Pilih Indoor atau Outdoor

4 Playground di Tangerang, Bisa Pilih Indoor atau Outdoor

Jalan Jalan
Tradisi Syawalan di Klaten, Silaturahmi Sekaligus Melestarikan Budaya dan Tradisi

Tradisi Syawalan di Klaten, Silaturahmi Sekaligus Melestarikan Budaya dan Tradisi

Jalan Jalan
Aktivitas Seru di World of Wonders Tangerang, Bisa Nonton 4D

Aktivitas Seru di World of Wonders Tangerang, Bisa Nonton 4D

Jalan Jalan
Cara ke Pasar Senen Naik KRL dan Transjakarta, buat yang Mau Thrifting

Cara ke Pasar Senen Naik KRL dan Transjakarta, buat yang Mau Thrifting

Travel Tips
8 Tips Kemah, dari Barang Wajib DIbawa hingga Cegah Badan Capek

8 Tips Kemah, dari Barang Wajib DIbawa hingga Cegah Badan Capek

Travel Tips
Harga Tiket Candi Borobudur April 2024 dan Cara Belinya

Harga Tiket Candi Borobudur April 2024 dan Cara Belinya

Travel Update
8 Tips Hindari Barang Bawaan Tertinggal, Gunakan Label yang Mencolok

8 Tips Hindari Barang Bawaan Tertinggal, Gunakan Label yang Mencolok

Travel Tips
Sandiaga Harap Labuan Bajo Jadi Destinasi Wisata Hijau

Sandiaga Harap Labuan Bajo Jadi Destinasi Wisata Hijau

Travel Update
10 Tips Bermain Trampolin yang Aman dan Nyaman, Pakai Kaus Kaki Khusus

10 Tips Bermain Trampolin yang Aman dan Nyaman, Pakai Kaus Kaki Khusus

Travel Tips
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com