MENELUSURI Pulau Sulawesi muncul kesan kuat yang tercetak dalam ingatan, yakni kemaritiman. Kehidupan masyarakat yang lekat dengan perairan sejak berabad-abad lampau telah melahirkan kota- kota berikut bandar niaga. Dalam negara yang bercorak kepulauan, kemaritiman itu tereduksi lalu menyisakan galau di simpang jalan.
Di wilayah selatan dan tenggara, situasi itu terwakili oleh jejak Kerajaan Makassar, Bone, Luwu, dan Buton. Di bagian barat terwakili oleh Kerajaan Mandar Balanipa. Adapun di utara diwakili oleh Kerajaan Manado (mencakup Minahasa dan sekitarnya).
Hadirnya bandar niaga di pesisir Sulawesi merupakan muara mobilitas manusia dan muara distribusi hasil bumi wilayah pedalaman melalui sungai. Didukung kecakapan membuat armada jadilah interaksi antarmanusia menempatkan laut dan sungai sebagai infrastruktur.
Misi penelusuran Kompas kali ini tidak semata berfokus pada jejak masa lampau, tetapi juga pada konteks kekinian untuk meneropong masa depan. Temuan jejak masa lampau menjadi cermin untuk mengupas proses transformasi yang tengah berlangsung, termasuk berkembangnya varian barang perniagaan dari semata hasil bumi menjadi produk olahan industri. Dinamika itu membawa bangsa ini berperan pada skala domestik dan internasional, termasuk berkaca untuk menyongsong era pasar bebas.
Perniagaan laut
Pada abad ke-17, Kerajaan Makassar bahkan telah menelurkan hukum laut bernama Amanna Gappa. Sistem hukum ini tak hanya menjamin kebebasan berniaga di laut, tetapi juga mengatur sejumlah hak dan kewajiban pemilik kapal dan anak buah kapal, berikut struktur organisasi pelayaran.
Sebelumnya, kerajaan itu hanya berfokus pada kegiatan agraris. Sejarawan Universitas Hasanuddin, Edward L Poelinggomang, mengatakan, dari aktivitas kemaritiman itulah Makassar tumbuh menjadi kerajaan besar dan memperluas wilayahnya hingga mencakup hampir seluruh Sulawesi Selatan.
Dalam bukunya, Makassar Abad XIX: Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim (2002), Edward memaparkan, Makassar membuka diri untuk aktivitas perniagaan segala bangsa dengan sistem perdagangan bebas. Berbagai komoditas diperjualbelikan di pelabuhan Makassar, seperti beras, kayu hitam, cendana, rempah-rempah, tekstil, keramik cina, hingga budak.
Bangsa asing pertama yang menjalin hubungan dagang dengan Makassar adalah Portugis, pada 1532, setelah sebelumnya pedagang asal Melayu dan Jawa lebih dulu menetap di Makassar. Bangsa-bangsa lain kemudian menyusul membuka kantor dagang, seperti Belanda (1607), Inggris (1613), Spanyol (1615), hingga China dan Denmark (1618).
Gerrit Knaap dan Heather Sutherland dalam buku Monsoon Traders: Ships, Skippers, and Commodities in Eighteenth-Century Makassar (2004) mengungkapkan, Makassar menjadi pelabuhan entreeport (pengumpul) dengan jaringan perdagangan meliputi Filipina, Kamboja, Siam, Makau, Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Komoditas terpenting yang menjadi daya tarik Makassar adalah rempah-rempah. Kota itu menjadi pengumpul untuk perdagangan pala dan cengkeh dari Maluku, komoditas yang paling dicari seluruh dunia pada masa itu.
Kejayaan bandar niaga Makassar surut saat kongsi dagang Hindia Belanda (VOC) pada 1669 menaklukkan kerajaan itu. Makassar pun dibatasi dari akses internasional karena VOC menerapkan sistem monopoli dalam perdagangan.
Pada tahun 1970-an, dalam bingkai Negara Kesatuan RI, kejayaan kemaritiman Makassar kembali ditekan oleh penguasa republik ini.