Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gedung Ibadah di Kota Tua

Kompas.com - 17/11/2013, 15:40 WIB

Klenteng dibangun di atas tanah seluas 3.000 meter persegi, dikelilingi 12 rumah petak sewa milik yayasan pengelola klenteng. Klenteng terbagi dalam empat ruang besar.

Di ruang belakang ada dua altar untuk menghormati mendiang Kapitan The Liong Hui. Di atas altar utama disimpan abu dan patung kayu sang kapitan asal Nanjing, Kabupaten Zhanzhou (Fujian) itu.

Tahun 1824, Kapitan The membangun kelenteng ini. Karena tidak memiliki keturunan, seluruh kekayaan ia habiskan untuk membangun rumah ibadah ini. Pengelolaan rumah ibadah ia percayakan kepada Tjhung See Gan.

Agar biaya pemeliharaan kelenteng terjamin, tahun 1839 Kapitan The meminta Tjhung membangun 12 rumah petak sewa yang hasil sewanya untuk ”menghidupi” kelenteng.

Sepeninggal Tjhung, kelenteng terbengkalai dan menjadi tempat tinggal pengemis. Beruntung, kondisi merana tersebut berakhir setelah tahun 1978, kelenteng dibersihkan, dikelola, dan dirawat Kepala Kelenteng Basri Oemar (Oey Sek Hai).

Jika dibandingkan dengan plafon Kelenteng Tian-Hou atau Wihara Dewi Samudera (1784) di Bandengan Selatan atau dengan Kelenteng Feng-shan Miao (1751) di Jalan Kemenangan III/48, plafon Kelenteng Kapitan The pasti kalah indah.

Altarnya pun kalah bagus dengan altar yang ada dalam Kelenteng Lu Ban Gong (1784) yang terletak di Jalan Bandengan Selatan 36. Meskipun demikian, Kelenteng Arya Marga menjadi satu-satunya kelenteng yang dibangun kapitan China di Batavia.

Pada periode 1812-1847, pembangunan kelenteng (Taois) dan wihara (Buddhis) umumnya dilakukan kongsi dagang dan lebih banyak ditujukan menghormati dewa dagang atau yang berhubungan dengan perdagangan. Lingkungan kelenteng pun sering dijadikan tempat pertemuan untuk membahas rencana bisnis.

Sebelum era ini, kelenteng di Kota Tua dibangun dengan berbagai tujuan. Dewa yang diletakkan di altar pun beragam, tidak didominasi dewa dagang. Kegiatan sosial kemasyarakatan di lingkungan kelenteng lebih sering dilakukan daripada pertemuan-pertemuan dagang.

Kelenteng Li Tie-guai atau Wihara Budhidharma di Jalan Perniagaan Selatan, yang menjadi tempat beribadah orang China terpopuler di kawasan Glodok, adalah salah satu kelenteng yang dibangun untuk dua di antara ”Delapan Hyang Mulia”, pelindung kongsi dagang.

Gereja

Di sudut Jalan Pangeran Jayakarta dan Jalan Mangga Dua berdiri megah Gereja Sion. Sebuah mimbar bergaya barok karya H Bruyn (1695) berdiri di tengah altar. Di atasnya terpasang kanopi Gereja Kubah, yang juga ada kota Batavia tapi sudah dibongkar Gubernur Jenderal Belanda Daendels tahun 1808.

Pembuatan mimbar bersegi delapan dengan paduan ukiran China, Eropa, dan India ini menghabiskan biaya 260 ringgit, sedangkan biaya pembangunan gereja ini 3.000 ringgit pada 1695. Menghadap altar, di sebelah kanan, berderet kursi besar berukir buatan pertengahan abad ke-17. Kursi itu dibuat khusus bagi petinggi VOC, termasuk buat para Gubernur Jenderal Belanda. Di tengah atas sandaran kursi yang terbuat dari kayu hitam itu terukir kitab suci yang terbuka. Di kiri-kanannya ada dua malaikat kecil.

Di salah satu dinding gereja ada batu bertulis dalam bahasa Belanda yang artinya, ”Batu pertama gereja ini diletakkan 19 Oktober 1693 oleh Pieter van Hoorn”. Meski menjadi satu-satunya tempat ibadah umat Kristen di Kota Tua, kondisi gereja ini terawat baik dibandingkan dengan semua tempat ibadah bersejarah di Kota Tua. (JOS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com