Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Finisterre, Hujan Jatuh di Santiago

Kompas.com - 02/12/2013, 12:31 WIB

Kami melanjutkan perjalanan ke Finisterre dengan alasan yang lebih puitik, dengan naik bus wisata–bukan jalan kaki seperti selama delapan hari menuju Santiago de Compostella. Tak ada ritual mandi di laut, tak ada pakaian dibuang, seperti biasa dilakukan peziarah sebagai simbol pembaruan diri.

Kami menanggalkan kekhawatiran dan ketakutan di tugu penanda nol kilometer. Penanda akhir ziarah itu, adalah penanda awal yang baru bagi kami untuk melanjutkan ziarah riil kehidupan di Bumi.

Muxia

Gerimis menari bersama angin, ketika kami tiba di Muxia, 29 kilometer ke ujung utara Finisterre. Wilayah ini, bersama Teluk Finisterre, merupakan tujuan akhir peziarah Camino Finisterre. Pemandangan laut sekitar Muxia, liar dan dramatik, membuat orang menahan napas. Sangat memesona.

Tempat itu merupakan tempat ibadah penting kepercayaan Pagan, tetapi saat ini tradisi Celtic dan Kristiani hidup bersama di Muxia. Gereja Our Lady of the Boat menggantikan kapel kecil tempat pemujaan Celtic pada Abad Pertengahan.

Muxia juga penuh legenda. Menurut pemandu kami, Patricia, Perawan Maria muncul di perahu batu diiringi para malaikat untuk menyemangati Santo Jakobus, Rasul yang mengalami banyak kesulitan saat menyebarkan ajaran Kristiani pada masyarakat Celtic. Konon, batu raksasa, ’Pedra de Abalar’ merupakan lambung kapal Sang Perawan; batu ’Pedra dos Cadris’ adalah badan kapal dan ’Pedra do Temon’, kemudi kapalnya.

Setiap tahun ribuan orang berusaha menggerakkan ’Pedra de Abalar’ yang diyakini memiliki kekuatan ajaib untuk merealisasikan mimpi. Namun, kata tradisi, batu itu hanya akan bergerak di bawah kaki mereka yang bersih dari dosa (sic!).

’Pedra de Cadris’ yang bentuknya seperti batu ginjal, kata Patricia, memiliki kekuatan penyembuh untuk penyakit punggung dan pinggang, rematik dan ginjal. Mereka yang percaya, berjalan merayap sembilan kali mengelilingi cekungan bawah batu untuk merasakan penyembuhan.

KOMPAS/MARIA HARTININGSIH Pedra de Cardis di Muxia, yang bentuknya seperti batu ginjal.
Kami meninggalkan Muxia saat matahari meredup. Bayangan Finisterre pelan-pelan pudar ditelan malam. Di Santiago, kami disambut mendung dan Moonlight Serenade dari denting piano pub di seberang hotel. Hujan jatuh keesokan hari. Akhirnya! Teringat Rui, pemandu kami selama melakukan Camino Santiago, ”Kalian belum tiba di Santiago, kalau tidak merasakan hujannya.”

Sepotong puisi penyair Spanyol, Federico Garcia Lorca (1898-1936), melintas begitu saja, It rains in Santiago/ my sweet love/ while camellia of the air/ shadowy shines the sun…. (Maria Hartiningsih)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com