Stan pameran Indonesia yang beratapkan rumah adat Toraja tersebut menarik perhatian pengunjung dalam bursa pameran wisata internasional yang diikuti 120 negara pada 24-27 Oktober 2013. Sejumlah tarian tradisional dan kontemporer Tanah Air ditampilkan, di antaranya Tari Jaipong asal Jawa Barat, Tari Rentak Besapih asal Jambi, dan tarian Indang Badindin asal Sumatera Barat.
Panggung Indonesia kian semarak oleh peragaan kostum batik karnaval Solo bertema ”metamorfosis” dan pembuatan tenun batik cual asal Provinsi Bangka Belitung. Pengunjung dari berbagai negara hingga peraga busana adat China tidak melewatkan kesempatan berfoto bersama dengan peraga busana Indonesia dan penari peranakan Tionghoa-Indonesia.
Ketertarikan gadis-gadis peranakan Tionghoa untuk mempelajari ragam tarian Indonesia berangkat dari keinginan untuk mempelajari jejak budaya Tanah Air. Beberapa dari mereka bisa berbahasa Indonesia dan hafal menyanyikan lagu-lagu daerah, seperti lagu Batak ”Sinanggar Tulo” dan lagu Ambon ”Sarinande”.
”Orangtua sering bicara bahwa orang Indonesia itu sopan dan sabar. Makanan Indonesia juga enak, seperti nasi goreng, kari, rendang, dan ikan pepes,” tutur A Fang (22). Ayahnya yang berasal dari Surabaya hijrah ke Guangzhou, China, pada tahun 1960-an.
Kelly (20), gadis peranakan Tionghoa yang masih keturunan Yogyakarta, mengungkapkan hal serupa. ”Bangunan-bangunan Indonesia bagus, banyak rumah tradisional dari kayu, dan pantai yang indah. Hawanya juga enggak dingin,” ujar gadis berkulit sawo matang itu.
Bersama para penari lainnya yang tergabung dalam Sanggar Pelangi, A Fang, Kelly dan kawan-kawan berencana berkunjung ke Indonesia untuk mementaskan beragam tarian Tanah Air pada Desember mendatang di Kota Medan.
Huang Hui Lan (63), perempuan kelahiran Aceh yang merintis Sanggar Pelangi, menuturkan, terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959 dan persoalan politik ketika itu memaksa keluarganya dan ratusan ribu orang Indonesia keturunan Tionghoa hijrah ke China. Namun, kecintaan terhadap Indonesia tetap melekat sekalipun dirinya bersama keluarganya pindah ke Guangzhou sejak tahun 1966.
Keterikatan batin warga keturunan Tionghoa asal Indonesia juga masih tecermin dari keberadaan Kampung Aceh dan Kampung Jawa di Guangzhou. ”Saya sudah terbiasa ngomong bahasa Jawa. Sebab, di kampung saya masih banyak orang Suroboyo, Solo, Pekalongan, dan Gembong. Kalo ngomong Jowo rosone legi (Kalau bicara bahasa Jawa rasanya manis),” ujar Huang, yang masih fasih berbahasa Indonesia.
Sanggar Pelangi yang dipimpinnya selama hampir 10 tahun merupakan sebuah upaya melestarikan ”rasa Indonesia”. Beragam tarian dan lagu didapat dari kaset-kaset yang beredar di komunitas orang Indonesia di China. Pelatih tari pun didatangkan dari Bogor untuk melatih generasi muda.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.