Petang turun di kota kecil Sendawar, Kutai Barat, Kalimantan Timur, awal November 2013. Lampu cuma berkelap-kelip kecil di kejauhan hutan. Tadi sore baru saja berlangsung upacara gugu tahun atau nalitn tautn yang dipimpin Kentung (62), seorang pawang dari suku Dayak Benoaq. Gugu tahun dimaksudkan sebagai upacara perbaikan tahun, digelar khusus saat Kutai Barat berulang tahun ke-14.
Pada puncak gugu tahun, dua kerbau dipersembahkan sebagai kurban. ”Hewan dikurbankan untuk memperoleh perbaikan cuaca agar matahari, bulan, dan bintang memberi panas yang tidak terlalu panas, hujan yang tidak terlalu besar. Padi bisa buah-berbuah dan ikan-ikan mendekat,” tutur Kentung, seusai membacakan mantra-mantra di tengah-tengah lapangan Taman Budaya Sendawar. Di ujung lain lapangan, pemamang dari suku Dayak Tunjung, Rengiq, memimpin ritual serupa.
Dua kerbau seharga masing-masing Rp 26 juta disembelih. Sebagian daging dipersembahkan kepada para pemamang alias para pawang yang jumlahnya 16 orang. Penyembelihan kerbau hanya menjadi puncak dari pengurbanan hewan-hewan lain, seperti babi dan ayam, selama delapan hari.
Dalam waktu singkat puluhan lelaki di balik lamin (rumah adat suku Dayak) bersama-sama memotong daging kerbau. Sementara itu, puluhan perempuan menyiapkan bumbu dan menyalakan lima tungku di sebuah dapur dadakan. Tak berapa lama, daging-daging dituang ke dalam lima kuali besar dengan air mendidih.
Api berkobar seperti membakar bagian bawah lima kuali, sementara air yang mendidih perlahan melumerkan daging kerbau. Seorang perempuan juru masak tampak sibuk mengaduk sembari menuang bumbu. Tiga kuali besar berukuran 5 kilogram masih dengan air bening dan daging yang mulai berubah warna. Dua kuali lain menguarkan aroma berbeda. Adonannya lebih kental dibandingkan dengan yang lain dan mengeluarkan warna yang lebih kuning.
”Ini kami sedang masak rendang,” kata Suwandi, yang dianggap chef, di dapur dengan puluhan perempuan dan lelaki itu. Tentu kata ”rendang” terdengar asing di tengah-tengah cita rasa hutan, di mana bumbu masak yang dikenal ”cuma” kunyit, jahe, garam, dan serai. Sementara rendang yang asli Minang itu penuh dengan aroma rempah, seperti merica, ketumbar, adas manis, dan kemiri. Bumbu itu pun dilengkapi dengan lengkuas, jahe, serai, jintan, cabai, dan kelapa sangrai. Bumbu ini jelas sekali menunjukkan perpaduan cita rasa untuk mewadahi berbagai suku dan agama di Kutai Barat.
Ikhlas
Lucia Mayo, istri Bupati Ismail Thomas, yang turut serta memasak, malam itu menceritakan rendang sudah lama dikenal di Kutai Barat. Rendang menjadi semacam menu katalisator, tali penyambung rasa persaudaraan di antara suku-suku yang ada di Kutai Barat. Di daerah ini, Pemerintah Kabupaten Kutai Barat membangun enam lamin sesuai dengan jumlah suku yang ada.
”Kita ada masyarakat dari suku Dayak Benoaq, Dayak Bahau, Dayak Tunjung, Dayak Kenyah, Dayak Aoheng, dan Melayu Kutai. Masing-masing memiliki satu lamin di Taman Budaya ini,” tutur Lucia. Konsep pendirian enam lamin ini mungkin mirip anjungan daerah di Taman Mini Indonesia Indah.
Namun, rendang, tambahnya, ada jauh sebelum enam lamin itu dibangun. Olahan makanan ini khusus dimasak saat digelar pesta besar, seperti menyambut gugu tahun. Juru masaknya pun hampir sebagian besar mereka yang memeluk Islam. Kehadiran rendang kerbau di wilayah yang terdapat mayoritas suku Dayak, yang umumnya makan babi, menarik perhatian.
Suwandi sendiri, sebagai chef, tidak bisa memberi informasi sejak kapan rendang menjadi semacam bahasa diplomasi di pedalaman Kalimantan ini. ”Saya sudah lama masak rendang, terutama kalau ada pesta-pesta besar seperti sekarang ini,” katanya.
Rendang-rendang kemudian disajikan dalam ratusan piring, yang dialirkan menuju meja makan melalui tangan satu ke tangan lain. Tangan-tangan yang mengalirkan rendang dan nasi putih itu menyerupai jalinan tali persaudaraan yang sambung- menyambung. Lalu piring-piring makanan bertumpuk-tumpuk rapi di meja makan. Tak lama berselang, dimulailah pesta makan rendang kerbau bersama. Siapa pun yang hadir di Taman Budaya malam itu boleh menikmati sajian sepotong rendang dan nasi putih.
Prosesi masak dan makan bersama, menurut Lucia, menjadi puncak dari seluruh acara gugu tahun untuk merayakan Ulang Tahun Ke-14 Kutai Barat. Mengapa rendang jadi pilihan? Lucia memang tidak bisa menjelaskan secara lebih detail. Namun, budayawan Dayak, Korrie Layun Rampan, melihat, pesta besar pada suku Dayak hampir selalu mengurbankan kerbau. Di sisi lain, masyarakat Dayak sudah lama hidup berdampingan dengan suku lain, seperti Melayu (Kutai), Banjar, dan Bugis.
Tanda cinta dan persaudaraan antara suku Dayak di pedalaman Sungai Mahakam dan suku-suku lain, seperti Kutai, Bugis, dan Banjar, diwadahi dalam sepiring rendang kerbau. Menyantap rendang ibarat mereguk sari-sari kemuliaan dari kebersamaan sebagai bangsa. Seperti pernyataan Korrie, masyarakat Dayak selalu terbuka terhadap kehadiran kebudayaan lain, termasuk ”mengikhlaskan” lidahnya menyantap makanan berbumbu tajam seperti rendang. (Putu Fajar Arcana dan Lukas Adi Prasetya)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.