Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/12/2013, 08:26 WIB
AYUNAN alat pangkur itu berayun secepat tarikan dua lengan kuat. Dalam satu tarikan napas, pangkur itu mengacung tinggi. Ketika ia menghela napas, seluruh badan bagian atas Agustina berayun cepat menghujamkan pangkurnya ke daging batang pohon amos atau sagu berduri (Metroxylon rumphii). Di punggung Agustina, Lobeka (3), putrinya, menempel rapat dalam gendongan. Sudah dua hari Lobeka menjadi bagian dari ribuan ayunan kuat tubuh ibunya. Dan, ia tidak jera.

Daging amos berwarna krem hancur terserak di antara kedua kaki Agustina. Yang tersisa tinggal semeteran batang sagu sepelukan orang dewasa itu. Saat daging sagu menggunduk, Agustina memindahnya ke dalam sebuah tas berbahan karung beras ukuran 10 kilogram. Begitu tas itu penuh, Agustina menyungginya menuju pinggir Sungai Siratz di Distrik Kaibar, Asmat, Papua. Ketika Agustina datang, Ruben—suaminya—belum selesai menapis sari pati sagu yang dipangkur Agustina sebelumnya. Dalam sebuntalan kain yang ada di pangkal pelepah sagu, tangan Ruben meremas kuat-kuat sabut daging sagu. Perasan putih mengaliri pelepah sagu menuju pelepah lain yang menjadi ”kolam pengendapan” sagu.

Kegiatan menangkur sagu telah dilakukan suami istri itu selama dua hari terakhir. Keduanya pergi meninggalkan Kampung Pinerbis di Distrik Kaibar dengan membawa dua anak balitanya, Lokeba dan Yosekin (1). Setelah mendayung perahu berkilo-kilometer, mereka tiba di hutan sagu ulayat sukunya. ”Kami akan memangkur sagu hingga cukup persediaan selama dua bulan ke depan. Setelah itu barulah kami pulang ke Pinerbis,” kata Ruben.

Itu berarti dua-tiga pekan Ruben, Agustina, Lobeka, dan Yoseakin bakal tidur dalam bivak berdinding dan beratap daun sagu. Musim pangkur sagu juga diiringi perburuan singkat aneka satwa dan ikan di hutan dataran rendah yang lebat dan basah, tempat berbagai burung, reptil, dan mamalia, seperti tikus hutan, posum, kuskus, ataupun kelelawar, bisa ditemukan.

Dari sagu yang dipangkur dengan segenap keringat dan entakan napas itulah, lempeng-lempeng sagu bakar dihasilkan. Parutan endapan pati sagu yang menggumpal keras melumer perlahan, menebar bau terbakar yang khas. Aroma gosong itu mengimbuhi rasa tawar sagu bakar. Sagu bakar selalu menyodorkan sensasi rasa mengunyah karet kenyal yang hangat dan berbulir-bulir kasar. Setiap otot geraham serasa bekerja ekstra melumat bola dan lempeng sagu. Sensasi itu bisa ditemukan di hampir setiap tempat di Asmat dan pesisir selatan Papua lainnya.

Ratusan kilometer dari bivak Ruben, di dapur Martina Bateh yang ada di tepian dusun sagu, Kampung Workwana, Distrik Arso, Kabupaten Keerom, sagu yang tersuguhkan sama sekali berbeda. Tangan Bateh meremas kuat gumpalan pati sagu dalam baskom, lantas melarutkannya dengan air bercampur perasan jeruk nipis. Setelah ditapis, air seputih susu itu dituangi air mendidih. Dua tongkat seukuran sumpit di tangan Bateh berputar cepat mengaduk adonan pati sagu yang segera mengental menjadi jenang. ”Inilah papeda,” ujar Bateh sambil mengangkat baskom itu ke meja dapurnya.

Dari meja itu tercium aroma lezat sepanci sajian ikan kuah kuning yang menjadi teman menyantap papeda. Sup ikan berkuah kuning itu lebih dahulu dituangkan ke piring kosong, mengalasi papeda agar tak lengket di piring. Beramai-ramai kami menyantapnya di kebun di belakang dapur Bateh. Bateh dan para kerabatnya tertawa melihat kami kelabakan menggulung gumpalan sagu dan menumpahkannya ke atas piring. Segala kepanikan itu langsung terbayar ketika sesuap sagu yang basah kuyup oleh kuah kuning menggelontor ke tenggorokan sambil meninggalkan jejak pedas cabai dan harum serai.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO Warga memasak ikan kuah kuning dan papeda untuk makan siang keluarga mereka di Kampung Workwana, Distrik Arso, Keerom, Papua.
Dari antropolog Mansoben, barulah kami tahu betapa istimewanya sajian papeda dari dapur Bateh. ”Masyarakat adat di Sentani dan Arso mengenal belanga yang dibuat dari tanah liat yang mudah didapati di kawasan Danau Sentani. Belanga membuat mereka piawai mengolah sagu menjadi papeda atau jenang sagu yang membutuhkan air mendidih. Berbeda dengan di Asmat, karena tak mengenal belanga, mereka menyantap sagu lempeng dan sagu bola yang dibakar dan diparut,” kata Mansoben.

Serupa dengan bakar batu, sagu bakar dan papeda juga terkait dengan kisah leluhur dan alam roh. Setiap manusia adat Papua pastilah menghormati sagu lebih daripada sekadar santapan. Banyak suku di Papua mengenal mitologi sagu yang dikisahkan sebagai penjelmaan manusia dengan beragam kisah dan nama. Manusia mengorbankan dirinya demi memberi makan anak-keturunannya. ”Sagu adalah inti dari berbagai ritual masyarakat adat di pesisir dan dataran rendah Papua,” kata Mansoben.

Dalam budaya patriarkat masyarakat adat Asmat, misalnya, setiap tahun digelar pesta ulat sagu. Pesta ulat sagu menjadi satu-satunya hari ketika perempuan Asmat boleh memasuki jew atau rumah komunal tempat setiap lelaki dewasa bertempat tinggal di kampung tradisional Asmat. Para perempuan berpesta dilayani para suami yang memasak untuk mereka. Di hadapan beratus orang di dalam jew, setiap istri berkesempatan mengutarakan segenap isi hati, kemarahan, kekecewaan, juga cercaan. Sebaliknya, setiap suami harus mendengar dan meminta maaf kepada istrinya. Pesta yang kerap diakhiri isak tangis haru.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Rekomendasi untuk anda
28th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com