Di level distrik, kata Luntungan, Jayawijaya yang pada 2009 terdiri atas 11 distrik kini jadi 40 distrik. Ia menunjuk beberapa distrik yang saling berdekatan di sekitar Bolakme. ”Distrik-distrik itu penduduknya sedikit, seperti kampung kecil saja. Paling penduduknya cuma 100 keluarga,” kata Luntungan.
Yang mengherankan, tambah Sisca Aso, warga Wamena, setiap pemilu tiba, jumlah pemilih di kampung atau distrik sepi tiba-tiba melonjak berkali lipat. Ia menyebut sebuah desa yang penduduknya hanya 39 orang saat pemilu jadi ribuan orang. ”Di Papua, orang yang sudah mati, pohon, dan batu dihitung sebagai pemilih. Itu sudah!” ujar Aso berseloroh.
Jalan di tempat
Dengan seluruh pemekaran distrik dan kabupaten itu, layanan publik di Jayawijaya tak juga membaik. Pelayanan di Kantor Distrik Bolakme adalah potret kecil buruknya pelayanan publik di Jayawijaya, bahkan Papua. Sejak Agustus lalu Kepala Distrik tidak pernah berkantor.
Luntungan mengatakan, semua pekerjaan administrasi di distrik itu harus dipanggul dirinya selaku sekretaris dan beberapa staf. ”Kami bergiliran masuk kerja karena rumah kami jauh di Wamena,” kata Luntungan, yang tidak bisa tinggal di Bolakme karena tidak punya rumah.
”Saya bertugas setiap Senin dan Kamis. Kalau setiap hari tidak sanggup. Ongkosnya mahal. Pulang pergi naik angkutan umum dari Wamena harus keluar Rp 60.000. Kalau pakai sepeda motor, biaya bensinnya Rp 100.000. Kalau setiap hari masuk, gaji saya habis semua,” ujar Luntungan. Di hari Selasa, Rabu, dan Jumat ia memilih bekerja dari Wamena.
Kebijakan pemekaran dan kebijakan lain seperti bagi-bagi raskin dan aneka bantuan keuangan tampaknya seperti gula-gula. Ya, gula-gula yang cuma manis didengar di telinga. Itu sudah! (Budi Suwarna dan Aryo Wisanggeni Genthong)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.