BALI adalah daerah pariwisata terdepan di Indonesia. Segala yang bersangkutan dengan tren gaya hidup pun menjadi terdepan di sini. Dari desain, sampai kekenesan cara orang meluangkan waktu.
Kalau mau tahu bagaimana wujud ”modern minimalist” seperti sering disebut asal-asalan oleh tukang pengembang dan para pewarta kurang pengetahuan, lihat di Bali. Misalnya Ku De Ta di daerah Kerobokan. Ku De Ta, sebutannya ”Ku”, adalah restoran tempat hang out turis kalangan atas baik internasional maupun lokal. Yang dimaksud lokal di sini terutama adalah kalangan berduit Bali dan Jakarta.
Ruang seperti ditentukan oleh garis-garis yang bersih, rapi. Suasana dibentuk oleh desain furnitur dan tetek-bengek lain yang anggun ditambah penerangan remang-remang. Bagian menghadap pantai dibikin terbuka, membuat orang bisa menikmati biru laut Kuta sepanjang hari, dari pagi sampai matahari terbenam. Ada teman, sambil minum caprioska bisa nongkrong seharian di situ. Yah, namanya orang berduit...
Pada saat-saat tertentu tempat ini, sebagaimana tempat-tempat hiburan lain di wilayah Bali bagian selatan, yakni Kuta, Legian, Seminyak, ramai luar biasa. Siapa saja yang terbiasa berkeliaran di tempat seperti itu maklum belaka kalau harus tidak mendapat tempat duduk. Berdiri di antara kerumunan banyak orang bolehlah, sembari bergoyang di antara dentuman musik, ketika hari kian malam.
”Tempat sudah penuh. Fully booked. Kebetulan sore ini kami ada sunset party. Kalau Anda mau datang silakan, tapi berdiri,” kata petugas bagian reservasi dari ujung telepon ketika Kompas hendak memesan tempat di Potato Head Beach Club, Seminyak. Malam belum terlalu larut. Akhir pekan itu, ingar-bingar musik dan sorot cahaya disko segera mengganti keteduhan senja begitu matahari hilang di balik cakrawala.
”Konsep kami adalah memorable dining experience,” kata Windu Romadhon dari Metis. ”Arahnya fine dining. Khusus hari ini sudah banyak yang pesan tempat,” katanya.
Benteng terbuka
Kalau Kuta dan sekitarnya menjadi tempat wisata hura-hura dan berbagai kesenangan yang sifatnya badaniah, Ubud di Kabupaten Gianyar sejak lama ingin berasosiasi dengan ketenangan desa, tranquallity, dan spiritualitas. Belasan atau puluhan tahun lalu, tempat ini diakrabi para seniman. Dalam perkembangan sekarang, ketika turis membanjiri Ubud, desa kecil itu menjadi sangat padat dan macet. Gebyar toko-toko, butik, restoran, boleh jadi membuat seniman terpinggirkan. Yang ada kemudian adalah sekadar kesan, suatu simbol, bahwa di sini ada ”sesuatu yang lebih dalam”, bersifat ”inner”, dan itu lalu dikomodifikasikan oleh industri.
Menurut Made Gunarta, pemilik Yoga Barn dan perintis BaliSpirit Festival, festival ini mampu menarik ribuan peserta dari berbagai negara. Festival tahun ini yang berlangsung Maret-April lalu katanya diikuti 6.000 peserta dari sekitar 50 negara.
Belum lagi Ubud Writers and Readers Festival, yang biasanya diikuti para penulis mancanegara dan dari beberapa kota di Indonesia. Beberapa restoran, dijadikan venue pertemuan. Penulis bertambah pengalaman sosialisasi, pengusaha restoran bertambah duit. Kalau Anda memiliki pilihan hidup, tinggal pilih jadi yang mana.
Paduan antara kegiatan masyarakat, budaya, alam, dan modal terutama dari pihak luar, itulah menurut Kepala Program Studi Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana, Prof I Nyoman Darma Putra, yang menggairahkan pariwisata Bali.
”Mereka berkolaborasi mengkreasi pasar, dan investor atau orang luar berkontribusi atas penciptaan pasar wisata di Bali. Hal seperti ini sebenarnya sudah terjadi sejak dulu. Pada tahun 1930-an misalnya, dari kolaborasi antara Wayan Limbak (seniman tari Bali) dengan Walter Sipes (pelukis Jerman), tercipta tari kecak yang mendunia dan kini menjadi ikon Bali,” kata Darma Putra.
Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati, tokoh Puri Ubud yang juga Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia menyebut beberapa festival ikut mempromosikan Ubud ke luar negeri. ”Kegiatan seperti itu bukan hal yang baru. Pada tahun 1960-an, ayah saya pernah mengadakan pentas seni reog ponorogo di Ubud,” ucapnya.
Menurut dia, Bali telah menjadi apa yang disebut oleh Henk Schulte, sarjana Belanda, sebagai benteng terbuka. Yaitu, kondisi antara kepentingan mempertahankan jati diri dalam berinteraksi dengan pengaruh luar yang sulit dihindari.
Perkembangan ekonomi yang didorong industri pariwisata, sebagaimana berpariwisata atau berlibur itu sendiri yang merupakan strategi waktu luang, memang kelihatan serba enak. Seenak film terkenal yang mengambil salah satu lokasinya di Ubud, yakni Eat, Pray, Love.
Oh enaknya, betapa keseimbangan hidup bisa dicapai hanya dengan terutama jalan-jalan, makan, cinta.... (Ayu Sulistyowati/Cokorda Yudistira)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.