Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ayuni Aristia Falastari, Menjaga Kelestarian Tari-tarian Lombok

Kompas.com - 20/07/2014, 14:23 WIB

Las yang menekuni tarian Lombok, misalnya, bisa membedakan gerakan-gerakan tarian khas Lombok dan gerakan khas tarian dari daerah lain.

Sama seperti nasib tarian tradisional di daerah lain, kaum muda umumnya kurang bersemangat untuk mempelajarinya. Namun, Las memilih untuk menekuni sekaligus melestarikan tarian Lombok.

Kini, dia menguasai 10 tarian Lombok, seperti tari Gagak Mandiq (karya maestro tari dan penabuh gamelan Lombok, Amak Raya), tari Gandrung, tari Tangis, dan tari Mataq (panen). Selain itu, Las juga tengah mempelajari 10 tarian lain, di antaranya tari Selaparang, tari Tandak Gero, dan tari Rantok.

Dia juga memiliki 45 murid, dari siswa SD sampai SMA. Dia melatih 25 murid tiga kali seminggu di Rumah Budaya Lenek dan 20 murid lainnya berlatih di Sanggar Seni Bebadosan di kampungnya, Desa Lenek, dua kali seminggu.

Di samping itu, Las juga melatih tari untuk para pelajar di sekolah yang mengajarkan seni tari sebagai muatan lokal di Desa Lenek. Para pelajar ini minimal harus bisa membawakan satu tarian untuk mendapatkan nilai di rapor mereka.

Las bersama anak didiknya kerap diminta mengisi berbagai acara di tingkat kecamatan sampai Pemerintah Kabupaten Lombok Timur. Las juga menjadi duta seni, seperti pada Bulan Citra Budaya NTB 2011 di Sumbawa Besar, Pulau Sumbawa. Dia juga sering diminta menari untuk menyambut tamu-tamu penting.

Keluarga seniman

Persinggungan Las dengan seni tari dimulai sejak duduk di kelas I SD. Awalnya, sang ayah, Ruslan Efendi, yang mengajari dia menari. Sang ayah adalah seorang penabuh gamelan.

Ketika ayahnya meninggal, Las belajar menari dari sang ibu, Kamiwati, dan kakaknya, Elya Arisanti, yang juga penari. Selain kepada mereka, dia juga belajar menari dari beberapa seniman tari di desanya.

”Waktu masih kecil, saya suka mengintip kalau ada kakak-kakak yang sedang berlatih menari,” ujar anak ketiga dari tiga bersaudara ini.

Dari sekadar sebagai penonton, Las lalu mempraktikkan sendiri hasil pantauannya. Selagi rumahnya sepi, dia mengurung diri di kamar, memutar gending, lalu menirukan gerakan-gerakan tari yang dia lihat.

”Hanya sekitar dua kali melihat orang menari, saya bisa lancar menarikan satu tarian,” ungkap dia.

Ada rekan sebaya yang menyindir dia karena menekuni tari tradisional. Namun, Las memilih mengikuti kata hatinya. Dia menyadari tarian tradisional kurang mendapat perhatian, bahkan lambat laun bisa hilang karena semakin tak diminati generasi muda.

Komitmennya itu membuat Las berusaha memenuhi permintaan menari sekalipun tidak dibayar. ”Dalam dunia seniman di Lombok dikenal ungkapan culuk menang, talo perasak atau yang penting dapat menghibur orang, saya sudah senang,” kata dia.

Dengan prinsip itu, penghasilan Las tidak menentu. ”Kalau pentas resmi, saya mendapat honor sekitar Rp 150.000,” ucap Las. Sementara honornya sebagai pengajar tari di sekolah relatif kecil, Rp 50.000 untuk berapa pun jumlah muridnya.

Meski penghasilannya terbatas, Las berharap suatu hari nanti bisa mengenyam bangku kuliah di perguruan tinggi yang membuka jurusan seni tari. ”Saya ingin punya pengetahuan teori, enggak cuma bisa menari karena praktik,” ujar Las. (KHAERUL ANWAR)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com