Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kidung dari Negeri Seribu Rumpun

Kompas.com - 28/09/2014, 12:54 WIB

Beruntung malam itu saya ditemani oleh teman-teman tenaga kesehatan yang sudah lama bertugas di Papua. Dari mereka saya ketahui bahwa obat malaria yang saya berikan untuk Maul ternyata tidak sesuai untuk mengobati malaria di Papua, karena sudah terjadi resistensi terhadap obat tersebut. Dari mereka juga saya akhirnya mendapat akses obat malaria yang tepat bagi Maul.

Malam itu, sembari memperhatikan tetesan cairan infus yang saya pasang di tangan kiri Maul sebagai terapi suportif untuk mengganti cairan yang hilang saat demam, saya mensyukuri keputusan saya untuk mendengarkan saran tenaga kesehatan setempat, walaupun mereka bukan dokter.

Saya harus mengakui, sesaat setelah mereka mengemukakan bahwa obat yang saya berikan tidak sesuai, saya bingung bagaimana harus merespon. Ego saya tersentil. Segala rasa berkecamuk. Rasa malu. Rasa gagal. Rasa khawatir akan kondisi Maul. Untungnya suara hati saya untuk mengikuti anjuran para tenaga kesehatan setempat, terdengar lebih keras.

Bisa saya bayangkan, bila saat itu saya tidak mendengarkan anjuran mereka, kemungkinan besar kondisi Maul akan sangat buruk, bahkan fatal.

Bagi saya, kepulihan Maul serta pertanggungjawaban tindakan dan keputusan saya kepada Sang Khalik, diri sendiri dan Maul sebagai pasien saya, lebih penting dari rasa malu. Karena profesi yang saya jalani ini, terikat sumpah yang mempertaruhkan kehormatan diri saya.

Maka kali lain bila pun saya harus mendengar anjuran dari orang yang bukan dokter, demi kebaikan pasien, maka saya tidak akan ragu mendengarkannya dan mempertimbangkannya, terutama dalam perjalanan, di mana mereka yang tinggal lebih lama kemungkinan lebih mengetahui karakteristik dan kondisi lingkungan. Sebuah pelajaran yang mahal dan berharga melalui malaria yang derita Maul, yang kemudian pulih dalam waktu 3 hari.

Kuliner ala Rawa-rawa

Sulit sekali rasanya menghentikan tawa saya siang itu di Otakwa. Bukan karena ada yang lucu. Tapi karena saya terjebak dalam lumpur rawa. Saya tak henti-hentinya menertawakan keadaan sekeliling saya. Sebatas pangkal paha saya terendam dalam lumpur rawa dan rasanya mustahil untuk berpindah tempat. Pak Marius yang membawa saya siang itu pun tidak dapat menahan geli melihat saya terjebak dalam lumpur rawa, berteriak teriak tertawa hampir histeris.

Semua kelimuan dalam mengarungi rawa ada di kepala saya. Bahwa kita sebaiknya tidak menginjak jejak yang ditinggalkan orang mendahului kita karena jejak yang mereka tinggalkan menyebabkan konsistensi lumpur menjadi lembek dan makin sulit untuk melepaskan diri. Tapi teori tinggal teori. Saat itu saya hampir lupa tujuan saya menyusuri lumpur rawa Otakwa, mencari cacing Tambelo segar untuk dimakan.

ARSIP KOMPAS TV Mengambil cacing Tambelo dari pohon kayu yang sudah tumbang.
Tidak berapa jauh berjalan di daerah yang bebas lumpur, Pak Marius dan istrinya menemukan batang pohon bakau yang sudah lapuk. Mereka yakin banyak cacing Tambelo yang berdiam di sana. Cacing tambelo segar yang kaya protein itu, menjadi makan siang saya di Otakwa hari itu. Rasa jijik yang saya kira akan timbul, lenyap tertutup rasa lapar, terutama setelah tenaga saya terkuras untuk melintasi rawa berlumpur.

Diluar perkiraan saya, tidak ada bau dan rasa tidak enak dari cacing mentah itu. Tanpa keraguan, cacing tambelo adalah salah satu makanan tinggi protein yang pernah saya konsumsi.

Setelah mengkonsumsi sekitar 5-6 cacing tambelo dewasa yang kira-kira berukuran 15-20 cm, saya pun terduduk kekenyangan di bawah sebuah pohon, sambil memperhatikan Pak Marius dan istrinya mengumpulkan cacing-cacing tambelo untuk dibawa pulang.

Saya pun kemudian teringat sederetan nama rumah makan cepat saji di ibu kota. Rumah-rumah makan cepat saji, yang ternyata, rasanya tidak seberapa dibanding cacing Tambelo yang baru saja saya konsumsi. Rumah-rumah makan cepat saji yang kontribusinya terhadap penyakit jantung dan pembuluh darah tidak dapat kita abaikan. Saat itu, seketika saya pun mengerti, betapa alam, menyajikan yang terbaik bagi penghuninya, dan maka, merupakan kewajiban bagi kita, para penghuninya, untuk menjaganya.

Petualangan dr Ratih dalam Doctors Go Wild episode "Kidung dari Negeri Seribu Rumpun" ditayangkan Kompas TV, Senin (29/9/2014) pukul 20.00 WIB. (dr Ratih Citra Sari)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com