Keluar dari Sindangbarang, kami susuri jalan di pinggiran pantai mulai dari Desa Sukapura. Kami lalui beberapa tempat pemurnian pasir besi yang banyak terdapat di sepanjang pantai selatan Jawa Barat.
Di sebelah kanan, ombak besar Samudera Hindia mencium pantai dengan suara gemuruh dan buih yang menebar kabut di udara. Hembusan angin dari haluan dan terik mentari menahan laju kayuhan. Sekuat apapun kayuhan, rasanya sepeda tetap berjalan lambat.
Mendekati tengah hari kami sampai di simpang Cidaun dan langsung disapa tanjakan terjal. Benar-benar tanpa basa basi, kemiringan jalan itu membuat ban depan terangkat-angkat. Rupanya tanjakan-tanjakan seperti itulah yang sangat sering kami hadapi selanjutnya. Profil jalan yang berkelok berliku-liku di peta melibas kontur rapat kenyataannya benar-benar kejam.
Melaluinya dengan membawa beban di belakang, kami harus pandai-pandai mengatur posisi badan rebah ke depan hingga nyaris menyentuh stem, jika tak ingin terjungkal ke belakang. Terkadang kami berjalan meliuk ke kiri kanan untuk menjinakkan tanjakan itu.
Angin semilir mengembuskan kesejukan hawa pegunungan. Saya tarik nafas sedalam-dalamnya, mengisi paru-paru dengan udara bersih yang semakin jadi barang langka di kota besar.
Serangga hutan bersahutan di pohon-pohon besar nan tinggi menjulang. Kami melipiri lereng terjal mengikuti liku-liku lembah besar Sungai Cipandak.
Di beberapa tempat, disela rimbunan pepohonan terbentang pemandangan lembah besar yang dasarnya menghijau oleh persawahan dipagari hutan lebat. Sungai Cipandak yang bening mengalir di tengahnya, menuruni bebatuan dengan buih putih bersih saking jernihnya.
Ah, indah sekali alam permai Naringgul. Sesuai namanya yang dalam bahasa Sunda artinya daerah bergunung-gunung, Naringgul adalah sebuah desa kecil yang dikepung gunung. Desa berpenduduk 1.200 kepala keluarga itu benar-benar menebarkan pesona keindahan Pasundan yang tersembunyi. Doni Don Lego, pengelana asli Bandung mengungkapkan, mungkin itulah salah satu alasan mengapa jalur klasik LSJB begitu menarik perhatian pengelana mancanegara.
Di sebuah tanjakan kejam sebelum masuk Desa Sukabakti, Rizal harus berhenti. Pandangannya sempat berkunang-kunang saat ia memaksa gowes. Saat itu sudah magrib. Kami pergi ke balai desa untuk bermalam tapi kondisinya tidak memungkinkan. Oleh pengurus desa kami diantar ke rumah Pak Adin yang menerima kami bermalam.
Rumah Pak Adin sederhana, terdiri dari dua ruang, yaitu ruang depan yang sekaligus dijadikan bengkel motor dan warung serta ruang belakang untuk dapur. Kami disediakan tempat di lantai atas yang beralaskan kayu. Pak Adin punya empat anak yg sudah berkeluarga semua dan tinggal di Bekasi, Bandung, dan Cianjur. Mereka sudah dikaruniai 3 cucu dan kini tinggal berdua saja di desa yang tenang.
Rumah kecil berdinding gedek itu terasa hangat oleh kebaikan tuan rumah. Sampai larut malam ada saja yang datang ke bengkel untuk memperbaiki motor dan Pak Adin menerimanya dengan semangat.
Angin bertiup kencang sejak semalam, mengirim hawa dingin yang semakin menusuk tulang. Semalam saya susah tidur dan sempat kangen rumah. Tapi lagi-lagi elegi pagi di Naringgul ini memompa semangat untuk menghadapi pendakian berat ke Balegede-Rancabali hingga sampai ke Ranca Upas. Dalam perjalanan jauh seperti ini, mempertahankan semangat tetap tinggi untuk mengatasi kesulitan dan bayangan akan kontur bumi yg menciptakan tanjakan-turunan terjal.
Tak diduga, di jalur Naringgul-Ciwidey ini tak hanya tanjakan, bahkan turunan pun menciptakan kesulitan tersendiri saking curam dan berkelok-keloknya. Beberapa kali saya nyaris kebablasan karena rem cantilever sudah bekerja terlalu berat menahan laju sepeda berikut bebannya.
Satu per satu kami tekuni tanjakan menuju Balegede, lalu masuk Leuweung Rasamala hingga sampai di batas kebun teh Cibuni. Disitulah terletak Tanjakan Seribu yang melegenda. Disebut tanjakan seribu karena seringkali mobil atau motor yang gagal melewati tanjakan itu membutuhkan bantuan didorong warga dengan imbalan uang seribu rupiah.