Kehadiran mahot dan gajah jinak itu pun penting untuk upaya pelestarian lingkungan Trumon, khususnya hutan di kawasan Naca.
Asisten Lapangan CRU Trumon Abdul Khair Syukri mengutarakan, manajemen CRU Trumon memiliki program reboisasi lahan yang rusak di kawasan hutan 2.700 hektar di Desa Naca. Reboisasi itu telah mencapai 50 persen sejak tahun 2012.
Bagi masyarakat, segala kegiatan itu telah memberikan banyak keuntungan. Paling tidak, tutupan hutan kembali rimbun di kawasan hutan di Desa Naca. Sejumlah mata air kembali muncul sehingga sejumlah anak sungai kembali terisi air.
”Dahulu, ketika hutan ini rusak, sumber air warga terbatas bahkan hilang. Kini, setelah hutan ini mulai pulih, sumber air warga kembali banyak,” ujar warga Naca, Muhammad Nasir (43).
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Selatan Teuku Masrul mengatakan, pelestarian hutan memang sangat penting, terutama hutan lindung dan konservasi yang menjadi bagian TNGL di Aceh. Apalagi menurut data Balai Besar TNGL, taman nasional itu merupakan sumber mata air bersih bagi lebih dari 50 persen masyarakat di Aceh. TNGL juga menjadi rumah sejumlah flora dan fauna langka dunia, seperti pohon meranti, sejumlah jenis anggrek, gajah sumatera, harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), dan orangutan sumatera (Pongo abelii).
Terancam
Namun, kondisi TNGL kian terancam. Berdasarkan data Balai Besar TNGL, total area taman nasional itu sekitar 1,1 juta hektar dan terbagi di dua wilayah, yakni 80 persen di Aceh dan 20 persen di Sumatera Utara. TNGL di Aceh berada di Aceh Selatan, Aceh Tenggara, dan Gayo Lues. Sekitar 10.000 hektar TNGL di Aceh Tenggara dan 2.500 hektar di Gayo Lues rusak parah akibat pembukaan lahan dan pembalakan ilegal.
Masrul menambahkan, kerusakan hutan lindung dan konservasi akan sangat terasa bagi masyarakat. Contohnya, pembukaan lahan dan pembalakan hutan secara ilegal marak dilakukan di hutan lindung dan konservasi yang luasnya sekitar 80 persen dari total luas wilayah Aceh Selatan 498.000 hektar. Itu terjadi dalam 10 tahun ini.
Setidaknya, kondisi itu telah memicu perubahan lingkungan dan iklim sehingga membuat banyak predator alami hilang, bahkan punah dari hutan Aceh Selatan. Akibatnya, sejumlah hama dan penyakit tanaman marak terjadi 10 tahun ini.
Masrul menyadari situasi itu belum menyadarkan sejumlah oknum yang tetap melakukan pembukaan lahan dan pembalakan hutan secara ilegal. Namun di sisi lain, pihaknya belum dapat berbuat optimal melindungi dan melestarikan hutan di Aceh Selatan.
Anggota staf IFACS-USAID di Aceh, Tisna Nando, menuturkan, seluruh tingkatan pemerintah dari pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota harus segera melakukan rencana aksi nyata untuk menyelamatkan hutan lindung dan konservasi di Aceh dan Indonesia, seperti membuat satu peta tunggal (one map solution). Mereka pun perlu meningkatkan kapasitas masyarakat untuk lebih sadar menjaga dan melestarikan hutan. (ADRIAN FAJRIANSYAH)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.