Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Asyiknya Bersepeda Mengunjungi Perbatasan RI-PNG

Kompas.com - 15/06/2015, 08:31 WIB
Wisnubrata

Penulis

SOTA, KOMPAS.com -  Barangkali sedikit saja orang yang memiliki kesempatan mengunjungi perbatasan antara Republik Indonesia dengan Papua Nugini di Sota, 85 kilometer dari Merauke. Dan tentunya lebih sedikit lagi orang yang ke sana dengan bersepeda.  Beruntung kami, tim Jelajah Sepeda Papua, bisa mengunjungi Sota dan menginjakkan kaki di Papua Nugini dengan bersepeda pada Sabtu hingga Minggu (6-7 Juni 2015).

Bersepeda dari Merauke ke Sota adalah pengalaman yang sungguh asyik. Jalurnya relatif datar dan tidak ada tanjakan berat, jalannya beraspal cukup bagus, dan pemandangan di kanan kiri sangat menarik karena melewati Taman Nasional Wasur yang dihuni berbagai jenis hewan dan tumbuhan.

Tim Jelajah Sepeda Papua berangkat dari Merauke sekitar pukul 14.00 setelah sebelumnya terbang dari Jayapura. Perjalanan Merauke-Sota adalah etape keempat setelah pesepeda melintasi Sarmi, Bonggo, Sentani, dan Jayapura di sisi utara Papua. Sementara etape empat dan lima berlanjut di sisi selatan Papua.

Awal perjalanan ditempuh dalam cuaca cerah dan terkadang diselingi mendung. Angin berhembus sangat kuat sehingga membuat daun-daun di pepohonan dan rumput-rumput melambai-lambai. Angin ini sekaligus menantang para pesepeda. “Di sini tidak ada tanjakan, tapi anginnya kuat, sehingga hambatannya serupa,” ujar  seorang peserta.

Memasuki Taman Nasional Wasur, sekitar 18 kilometer dari Merauke, angin terus berhembus kuat, namun jalurnya menjadi lebih teduh karena banyak pepohonan di kanan kiri jalan. Suasana juga lebih adem karena banyak rawa-rawa dengan bunga-bunga teratai ungu yang bermekaran. Suara-suara burung dan serangga makin ramai terdengar. Namun kami tak menjumpai satu hewan pun selama perjalanan.

Kompas.com/ Dian Maharani Pemandangan di Taman Nasional Wasur, Papua.

Menurut cerita, sepuluh tahun lalu, pelintas Wasur akan dengan mudah menemui wallaby atau kangguru kecil di jalanan. Di perairannya juga ada buaya dan berbagai jenis ikan serta burung air. Rusa dan burung kasuari yang banyak terdapat di kawasan Merauke, disebut juga pernah menghuni Wasur. Tapi sepanjang perjalanan yang kami jumpai hanya pepohonan. Beberapa pesepeda mengaku melihat wallaby, namun sudah dalam kondisi mati, dipanggul pemburu yang naik motor.

Yang banyak kami jumpai kemudian adalah musamus alias rumah semut. Musamus sebetulnya adalah sarang rayap. Koloni rayap membangunnya menggunakan rumput, tanah dan air liur. Hasilnya gundukan tinggi dan keras yang berdiri layaknya monumen-monumen di tengah hutan. Tentu kami tidak melewatkan kesempatan ini untuk berfoto.

Sendiri dalam gelap

Menjelang sore, rombongan pesepeda mulai terpencar. Pertama karena kekuatan dengkul yang memang berbeda-beda. Kedua terpaan hujan membuat beberapa orang tertinggal karena berhenti untuk melindungi tubuh dan tasnya. Saya beruntung berada di rombongan depan. Namun karena tidak kuat mengimbangi kecepatannya, lama-lama saya tertinggal sendiri, di antara rombongan depan dan belakang yang jaraknya lumayan jauh.

Kompas.com/ Dian Maharani Rombongan Jelajah Sepeda Papua beristirahat sejenak di Taman Nasional Wasur, Sabtu (6/6/2015)

Matahari perlahan menghilang dan suasana menjadi gelap saat saya merasa sendirian di jalan yang diselimuti pepohonan. Hanya mengandalkan lampu kecil yang bahkan tidak bisa menerangi aspal di bawah roda, saya berharap segera melihat lampu mobil atau sepeda di depan. Namun harapan itu sia-sia karena rupanya rombongan depan tidak berencana beristirahat namun ingin langsung ke tujuan akhir di Sota.

Bersepeda sendiri dalam kegelapan dan terjangan angin sungguh merupakan tantangan. Menambah kecepatan pun sulit karena hambatan angin lebih besar saat kita keluar dari kelompok. Hal yang membuat saya tenang adalah keyakinan bahwa saya tidak mungkin tersesat karena inilah jalan satu-satunya ke Sota, tidak ada percabangan, dan kenyataan bahwa masih ada rombongan di belakang saya, walau saat menengok ke belakang, semuanya gelap. Hiburan lain adalah indahnya bintang-bintang dalam lingkungan yang tidak ada lampu. Saya belum pernah melihat bintang-bintang sejelas ini. Bahkan kabut dalam galaksi Bima Sakti pun terlihat di langit.

Beberapa saat bersepeda, saya kemudian melihat lampu di kejauhan, berharap itu adalah garis finish. Namun semakin dekat, ternyata ada tugu dengan jalan bercabang. Satu menuju Boven Digul, satu ke Sota. Beruntung ada beberapa warung dan polisi di situ yang menunjukkan arah.  Beberapa saat kemudian, saya menjumpai pesepeda lain yang rupanya juga tertinggal. Berdua kami melanjutkan perjalanan hingga lokasi istirahat di tepi perbatasan. Akhirnya...

Kompas.com/ Dian Maharani Anggota Jelajah Sepeda Papua berfoto dengan tentara penjaga perbatasan di Sota, perbatasan RI-PNG.

Turun dari sepeda, kami menjumpai beberapa tentara penjaga perbatasan yang berada di sekitar tenda tempat kami akan beristirahat. Tenda-tenda itu didirikan untuk keperluan para pesepeda. Ada empat tenda untuk tidur, dua tenda makan, dan satu tenda parkir sepeda. Wow, mewah sekali, bahkan sepeda pun diberi tenda. Suara generator untuk menyalakan lampu menghalau sunyinya malam.

Dalam tenda makan, kami disambut berbagai makanan dan kopi panas. Ada beberapa jenis ubi, jagung, pisang dan makanan lain yang direbus. Makan malam pun juga sudah disediakan oleh para anggota TNI yang mendukung perjalanan. Ada ikan mujair panggang yang ukurannya jumbo, sayur-sayuran, dan daging rusa. Lezatnya..

Malam itu kami mandi di bilik-bilik terpal yang didirikan sementara. Karena hanya ada empat bilik, kami harus antre untuk mandi. Air di Sota sangat segar dan bersih. Rasanya hilang segala pegal dan lelah karena seharian bersepeda.

Saat makan malam, kami berbagi cerita soal perjalanan hari ini. Beberapa pesepeda ternyata memiliki pengalaman serupa, yakni terpisah dari rombongan dan bersepeda sendirian dalam gelap. Ada yang berdoa sepanjang jalan, ada yang menikmati kesunyian, dan ada pula yang ketakutan karena takut bertemu anggota OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan diculik.

Mengunjungi negara tetangga

Malam itu kami tidur dalam tenda. Tidak ada kesibukan mengecek pesan di ponsel karena kami semua tidak memperoleh sinyal. Berbantalkan tas kecil dan berselimut sarung, saya terlelap beberapa jam, sebelum terbangun oleh suara teriakan dan hiruk pikuk di luar. Ternyata segala keriuhan itu berasal dari para pesepeda dan penduduk yang nonton final Piala Champions antara Barcelona melawan Juventus. Pendukung kedua kesebelasan saling berteriak saat jagoannya menggiring bola mendekati gawang lawan.

Saya berpikir, orang-orang ini nggak punya udel. Bersepeda seharian, masih kuat pula bangun dini hari untuk nonton bola. Padahal esoknya kami masih harus menempuh perjalanan kembali ke Merauke. Namun itulah kegembiraan bersepeda. Rasa pegal dan capai adalah kenikmatan. Perjalanan serupa dengan peziarahan. Setiap kayuhan dirasakan sebagai pencapaian baru. Para pendukung Barcelona barangkali punya kekuatan lebih untuk bersepeda setelah jagoannya menang 3-1. Entah perasaan mereka yang mendukung Juventus.

Sebagian besar dari kami tidak lagi melanjutkan tidur, namun ikut menonton bola dilanjutkan dengan antre mandi di temaram pagi. Air yang segar itu menjadi sungguh dingin, sehingga acara mandi berlangsung lebih cepat. Brrrrr...

Kompas.com/ Dian Maharani Berjumpa dengan Sekhu Ndike, warga Papua Nugini di Sota, perbatasan RI-PNG.

Saat Matahari muncul, kami bergegas berjalan menuju perbatasan. Ternyata tenda kami berjarak hanya beberapa ratus meter dari tugu perbatasan dengan Papua Nugini. Melangkah beberapa ratus meter dari situ adalah daerah netral. Lalu ke dalam lagi dijumpai patok-patok penanda bahwa daerah seberang adalah luar negeri.

Tidak seperti di bagian Indonesia yang terdapat jalan aspal, di wilayah Papua Nugini, jalanan itu berupa jalan setapak tanah saja. Desa terdekat Papua Nugini jaraknya 15 kilometer. Kami ingin masuk lebih dalam, namun beberapa orang memperingatkan agar tidak bergerak terlalu jauh. Karena bila tertangkap patroli perbatasan, bisa-bisa kita ditahan jika tidak memiliki dokumen untuk melintas.

Meski begitu, keingintahuan mengalahkan kekhawatiran. Toh hari masih sangat pagi. Mana ada patroli sepagi ini, demikian pikir kami. Maka kami pun masuk lebih dalam, menjumpai banyak musamus sekaligus berharap bertemu orang dari seberang.

Harapan itu terkabul. Di tengah jalan setapak kami bertemu Sekhu Ndike, lelaki paruh baya yang merupakan warga Papua Nugini. Sukunya tinggal di wilayah perbatasan, dan ada sebagian kerabatnya yang merupakan WNI karena rumahnya di wilayah Indonesia. Keponakannya, Daud Ndike yang juga kami jumpai pagi itu ternyata warga Indonesia. Sekhu yang berperawakan tinggi dan selalu mengunyah pinang sirih ini kemudian menjadi rebutan untuk berfoto bersama.

Kompas.com/Wisnubrata Seorang peserta Jelajah Sepeda Papua mencoba sepeda milik warga Papua Nugini.

Di perbatasan kami juga menjumpai  tiga pria Papua Nugini yang hendak kembali ke desanya setelah berbelanja di Indonesia. Mereka naik sepeda usang tanpa rem, dan membawa keranjang-keranjang berisi belanjaan. Menurut mereka perjalanan ke desanya makan waktu 1,5 hingga 2 jam bersepeda. Salah seorang pesepeda pun berseloroh, “Coba pakai ini, pasti lebih cepat,” sambil menyodorkan sepeda gunungnya.

Sapi Potong Kompas

Menjelang siang, usai makan pagi, kami berpamitan dengan para anggota TNI penjaga perbatasan. Pos dan barak mereka dikelilingi kebun sayur yang segar. Terong, labu dan berbagai sayuran ditanam dalam baris-baris yang rapi. Kata seorang tentara, “Ini kesibukan kami sehari-hari. Perbatasan ini relatif aman dan tidak banyak kegiatan. Sehingga kami memiliki waktu untuk berkebun.”

Di dekat perbatasan ada juga warung yang menjual cendera mata. Beberapa pesepeda tidak melewatkan kesempatan untuk membeli berbagai barang setempat seperti tas noken, hiasan kepala dari bulu-bulu burung, sarang semut yang ditumbuk, madu hutan, dan kaos bertuliskan “Lintas Batas RI-PNG”.

Kompas.com/Wisnubrata Salah seorang anggota TNI penjaga perbatasan di tengah kebun sayurnya di Sota, perbatasan RI-PNG

Hari Minggu itu adalah etape terakhir Jelajah Sepeda Papua. Tujuan kami adalah kembali ke Merauke, melintasi Wasur. Perjalanan ini relatif singkat karena para pesepeda memacu tunggangannya dengan kencang. Rombongan sempat beristirahat makan siang di tengah Taman Nasional sambil menikmati embusan angin dan indahnya pemandangan. Namun perjalanan segera dimulai lagi.

Memasuki Merauke ada kejadian yang menggelikan. Sekawanan sapi yang berada di ladang, tiba-tiba berlari kencang di samping rombongan, lalu menyeberangi jalan memotong jalur pesepeda. Sontak kami berteriak-teriak agar pesepeda berhenti dan memberi jalan pada sapi-sapi agar tidak tertabrak. “Ini adalah sapi potong kompas,” ujar seorang peserta. Ungkapan yang tepat karena Jelajah Sepeda Papua ini diadakan oleh harian Kompas, sehingga rombongan kami disebut juga rombongan Kompas.

Sekitar pukul 15.00 akhirnya kami memasuki Lapangan Mandala di Merauke. Sambutannya ternyata luar biasa. Warga berkumpul di lapangan dan tarian-tarian diadakan untuk memeriahkan penyambutan. Turun dari sepeda kami saling berpelukan penuh haru. Lima etape penuh keringat, tanjakan, turunan telah dilalui bersama dalam kegembiraan dan penuh canda. Kebahagiaan itu kemudian diluapkan dengan mengikuti tarian yang energik. Kami seolah lupa pada keletihan, rasa sakit di kaki, dan panas yang membakar kulit. Semua terbayar dengan pencapaian ini.

Saat memasuki Merauke, tim jelajah sekaligus menuntaskan impian Kompas untuk menjelajahi Indonesia dari Sabang sampai Merauke menggunakan sepeda sebagai salah satu bentuk gerakan mencintai Indonesia. Dan melalui jelajah sepeda ini, kami bisa bertemu langsung dengan orang-orang, mendengar cerita mereka, melihat keindahan tanah air, merasakan berbagai jenis makanan daerah dan budayanya, dan berujung pada satu hal, cinta Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Turis Asing Diduga Bikin Sekte Sesat di Bali, Sandiaga: Sedang Ditelusuri

Turis Asing Diduga Bikin Sekte Sesat di Bali, Sandiaga: Sedang Ditelusuri

Travel Update
Ada Pembangunan Eskalator di Stasiun Pasar Senen, Penumpang Bisa Berangkat dari Stasiun Jatinegara

Ada Pembangunan Eskalator di Stasiun Pasar Senen, Penumpang Bisa Berangkat dari Stasiun Jatinegara

Travel Update
Hotel Ibis Styles Serpong BSD CIty Resmi Dibuka di Tangerang

Hotel Ibis Styles Serpong BSD CIty Resmi Dibuka di Tangerang

Hotel Story
10 Mal di Thailand untuk Belanja dan Hindari Cuaca Panas

10 Mal di Thailand untuk Belanja dan Hindari Cuaca Panas

Jalan Jalan
Menparekraf Susun Peta Wisata Berbasis Storytelling di Yogyakarta, Solo, dan Semarang

Menparekraf Susun Peta Wisata Berbasis Storytelling di Yogyakarta, Solo, dan Semarang

Travel Update
Waisak 2024, Menparekraf Targetkan Gaet hingga 300.000 Wisatawan

Waisak 2024, Menparekraf Targetkan Gaet hingga 300.000 Wisatawan

Travel Update
3 Bulan Lagi, Penerbangan Langsung Thailand-Yogyakarta Akan Dibuka

3 Bulan Lagi, Penerbangan Langsung Thailand-Yogyakarta Akan Dibuka

Travel Update
Jelang Waisak 2024, Okupansi Hotel di Area Borobudur Terisi Penuh

Jelang Waisak 2024, Okupansi Hotel di Area Borobudur Terisi Penuh

Hotel Story
iMuseum IMERI FKUI Terima Kunjungan Individu dengan Pemandu

iMuseum IMERI FKUI Terima Kunjungan Individu dengan Pemandu

Travel Update
9 Wisata Malam di Jakarta, dari Taman hingga Aquarium

9 Wisata Malam di Jakarta, dari Taman hingga Aquarium

Jalan Jalan
Jangan Sembarangan Ambil Pasir di Pulau Sardinia, Ini Alasannya

Jangan Sembarangan Ambil Pasir di Pulau Sardinia, Ini Alasannya

Travel Update
6 Cara Cegah Kehilangan Koper di Bandara, Simak Sebelum Naik Pesawat

6 Cara Cegah Kehilangan Koper di Bandara, Simak Sebelum Naik Pesawat

Travel Tips
Maskapai Penerbangan di Australia Didenda Rp 1,1 Miliar karena Penerbangan Hantu

Maskapai Penerbangan di Australia Didenda Rp 1,1 Miliar karena Penerbangan Hantu

Travel Update
China Terapkan Bebas Visa untuk 11 Negara di Eropa dan Malaysia

China Terapkan Bebas Visa untuk 11 Negara di Eropa dan Malaysia

Travel Update
Pelepasan 40 Bhikku Thudong untuk Waisak 2024 Digelar di TMII

Pelepasan 40 Bhikku Thudong untuk Waisak 2024 Digelar di TMII

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com