Uniknya, kawasan gay itu terletak tak jauh dari masjid terbesar di kota Seoul di Hannam-dong berikut dengan warga muslim di sekitarnya. Keluar dari gang Homo Hill, terdapat juga bar untuk kaum heteroseksual. Semua menyatu.
Di salah satu bar, saya bertemu dengan seorang warga negara Amerika Serikat yang mengajar bahasa Inggris di Korea dan juga menguasai bahasa Indonesia. Dia mengatakan, bahasa Indonesia cantik dan logis.
Kawasan nongkrong di Indonesia mungkin sudah mulai sepi sekitar pukul 2.00 dini hari. Tapi di Itaewon, jam 2.00 dini hari masih ramai. Orang baru mulai pulang sekitar pukul 4.00 dini hari. Jalanan macet karena antrean taksi.
Saat jam pulang nongkrong itu, sampah menumpuk, sedikit bertebaran. Tapi itu juga yang memang selalu dijumpai di kawasan hiburan, termasuk di Roppongi, Tokyo, kota besar yang dikenal bersih.
Hari Ketiga
Hari ketiga, saya tak punya banyak waktu. Tapi, ada dua orang teman yang menemani. Kami mengelilingi sejumlah wilayah, antara lain Istana Gyeongbok. Ini tujuan utama wisatawan yang berkunjung ke Seoul, sama seperti orang hampir selalu berkunjung ke Keraton saat ke Yogyakarta.
Saya dan teman tiba pukul 14.55 waktu setempat, tepat 5 menit sebelum upacara pergantian penjaga dimulai. Saya menyaksikan ritual upacara itu beserta sekitar seratusan wisatawan lain yang mengerumuni halaman depan istana.
Itulah pengalaman tiga hari dua malam saya di Seoul. Satu hal yang menurut saya bagus dari Seoul adalah bahwa wilayah kampung tradisional masih dipelihara di tengah kota Seoul yang metropolis, malah kampung itu "dijual" untuk wisata.
Hal lain adalah adanya kawasan seni tempat di mana kerajinan unik dari penjuru Korea Selatan dijual. Sangat menarik kalau Jakarta dan kota besar di Indonesia lainnya juga bisa punya kawasan itu, tak melulu di mal.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.