Sebagian besar dari koleksi pasir itu diperoleh dengan perjuangan yang tidak mudah. Suatu kali, Martin dan Fransisca bepergian dengan kapal pesiar dari Miami. Pasangan ini hanya boleh membawa koper kecil yang kemudian penuh dengan koleksi pasir. Begitu tiba di Bandara Miami, mereka tertahan berjam-jam di imigrasi karena koleksi pasir yang dibawa harus diperiksa.
”Ada 15 kantong plastik, dites satu per satu dikira obat. Kita lihatin saja, akhirnya lolos, dong. Enak saja, sudah mahal-mahal untuk cari pasirnya. Harus ngotot. Biasanya pasir saya masukkan ke bagasi atau kirim lewat kantor pos,” ujar Martin yang selalu membawa katalog pasir untuk bukti diri sebagai kolektor.
Beberapa sahabat keluarga ini yang berusaha membawa oleh-oleh pasir juga sempat menjumpai kendala serupa, bahkan pasir yang dikumpulkan akhirnya disita. ”Di Pulau Karibia, mereka bilang, ’Kalau seribu orang ambil satu gelas, sudah seribu gelas.’ Sayangnya mereka enggak bisa menunjukkan peraturan tertulisnya. Ada banyak pasir yang saya beli karena dilarang mengambil,” lanjut Martin.
Fransisca lantas membawa sebotol kecil pasir peridot warna hijau yang dibeli seharga 10 dollar Amerika Serikat dari Pantai Olivine di Hawaii. Pasir lainnya berbentuk unik mirip ketumbar berujung lancip dari Pantai North East Island dibeli di toko suvenir Cijin, Taiwan. Perhiasan kalung yang dipakai Fransisca juga berasal dari olahan lava gunung berapi di Islandia dan Canary Island di Spanyol.
Sadar akan keunikan dan keindahan pasirnya, beberapa obyek wisata di luar negeri memang sudah mengemas pasir menjadi suvenir cantik. Ketika mengunjungi Gunung St Helens, Amerika Serikat, mereka membeli pasir debu dari letusan gunung yang dibagi dalam kategori letusan 5 miles, 22 miles, dan 250 miles. Dari suvenir pasir itu tampak bahwa semakin jauh letusan, semakin halus pasirnya.