Jumat pagi. Solo disiram matahari. Jarum jam baru saja menunjukkan pukul 08.00. Namun, kesibukan sudah mulai menampakkan denyutnya. Di salah satu sudut Kota Solo, yang bernama Gading atau ”nggading” dalam lafal wong Solo, ada soto gading. Pagi itu, warung sudah dipadati orang yang akan ngiras alias makan di tempat. Denting sendok garpu berbaur dengan kesibukan pelayan meladeni pembeli.
Kuah soto yang panas mengepul. Sambal merah dan kecap manis menggoda selera. Tempe garit, sosis solo, sate telur puyuh, karak, dan segelas teh panas yang manis dan kenthel pun sukses memuasi selera.
Modelnya sungguh sangat beragam. Beberapa di antaranya memadukan atasan batik sogan mereka dengan kulot, celana jeans, dan rok. Sementara sebagian lagi memilih mengenakan model rok terusan. yang penting batik, dan jangan lupa harus sogan.
Giwang mutiara dan kalung-kalung unik yang melingkar di leher para peserta semakin menonjolkan keindahan batik sogan yang membalut tubuh-tubuh nan ramping dan wangi para peserta. Untuk menghalau panas, para peserta mengenakan kacamata hitam dan topi lebar yang serasi dengan dandanan mereka.
Setelah menandaskan bermangkok-mangkok soto, para peserta wisata yang berjumlah hampir 100 orang itu memulai perjalanan dengan mengendarai andong. Ini adalah kesempatan langka karena di Solo, andong kini menjadi alat transportasi yang makin sulit ditemui. Di hari-hari biasa, hanya ada tiga andong yang mangkal di sekitar keraton, melayani kebutuhan wisatawan. Dulu sampai era 1970-an, andong adalah angkot, alias angkutan kota yang menjalani rute dari pasar ke pasar, atau dari Solo ke Kartasura.
Para peserta berebut naik ke atas andong dengan tergesa. Andong-andong yang berjumlah 25 unit itu pun membuat jalanan di depan warung soto gading tersendat. Namun, yang ada justru raut-raut wajah yang sangat antusias mengarahkan pandangan ke andong-andong yang dihias cantik dan penumpang-penumpang cantik berbatik. Sebagian justru mengeluarkan telepon seluler untuk mengambil gambar dan melambai-lambaikan tangan....
Di sepanjang jalan menuju Cemani, sekelompok remaja dari Komunitas Jas Merah (Remaja Solo Melek Sejarah) duduk di kursi depan andong. Mereka bertugas menjadi pemandu dalam perjalanan tersebut.
Pratika (17), salah seorang pemandu, dengan lancar menerangkan segala hal yang berhubungan dengan rute yang dilewati konvoi andong. Mulai sejarah kawasan Gading, perpecahan keraton, nama-nama kampung di Solo yang berhubungan dengan batik, seperti Cemani, Kabangan, dan Mutihan, serta bagaimana sejarah batik bermula di Solo hingga bangunan-bangunan bersejarah yang ada di sekitar rute yang dilewati.
Salah satunya adalah bangunan pondok pesantren Jamsaren yang berlokasi di Kecamatan Serengan. Menurut catatan sejarah, pondok pesantren Jamsaren merupakan pondok pesantren tertua di Solo. ”Dibangun sekitar tahun 1750, tetapi sempat vakum hingga hampir 50 tahun karena oleh Belanda, santri-santrinya dianggap pengikut Pangeran Diponegoro,” kata Pratika.
Jajal membatik
Sampai di Pusat Batik Keris di kawasan Cemani, para peserta diajak mencoba membatik dengan teknik berbeda, yaitu cap dan tulis. Peserta yang umumnya perempuan sangat antusias menerima tawaran tersebut.
Bahkan, meski berada di dalam pabrik yang membuat mereka cepat berpeluh, tidak ada peserta yang beranjak dari sana dengan tergesa. Satu-satu mereka menjajal proses membatik dengan cap dan memberikan warna. Lalu bertekun menyelesaikan pekerjaan mereka.
Menjelang sore, setelah menghabiskan waktu di Galeri Batik Keris, para peserta menikmati kesempatan menonton Solo Batik Carnival berupa parade on the street di sepanjang Jalan Slamet Riyadi, yang digelar untuk memperingati Hari Batik Nasional. Sebelumnya, mereka dihibur Drum Corps Cendrawasih Akademi Kepolisian.
Untuk menutup malam, peserta diajak ke Museum Batik Danarhadi yang berlokasi di Jalan Slamet Riyadi. Di sana, para peserta berkesempatan menikmati koleksi kain-kain batik yang berusia puluhan dan ratusan tahun dengan motif batik yang amat beragam dari setiap periode.
Tidak hanya cantik, kain-kain batik tersebut juga memiliki kisah yang berkait erat dengan kondisi sosial politik saat itu. ”Ini sungguh kekayaan yang luar biasa. Apalagi jumlahnya sangat banyak, komplet sekali koleksinya,” kata Tity Hatta.
Seharian beraktivitas, para peserta nyaris sudah menikmati semua makanan khas Solo. Dimulai dengan soto gading, peserta juga berkesempatan menikmati menu khas Solo, seperti sate kere dan lodeh kluwih saat makan siang.
Ada juga kue-kue tradisional khas Solo yang disajikan dalam tenong berukuran besar, seperti carang gesing, serabi notosuman, getuk, dan ketan Mbok Kedul. Semuanya disajikan saat minum teh sore ketika kantuk dan penat mulai berdesir. Sementara untuk makan malam, ada selat solo, bakmi godhog, nasi liwet, dan berbagai sajian lainnya.
Solo, tentu hanya salah satu kekayaan budaya Indonesia.... (Dwi As Setianingsih)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.