Festival Bengawan Solo mengirimkan pesan betapa pentingnya menjaga sungai. Air Bengawan Solo jadi sumber air baku perusahaan daerah air minum, termasuk di Bojonegoro. Di sisi lain, Bengawan Solo menjadi keranjang sampah dan tempat pembuangan limbah pabrik ataupun rumah tangga. Penambangan pasir yang masif merusak tanggul sungai dan mengancam konstruksi jembatan dan bendung gerak.
Bengawan Solo adalah sumber pengetahuan dan inspirasi. Gesang, melalui lagu ”Bengawan Solo”, mengingatkan betapa besar peran sungai yang membentang sepanjang 548,43 kilometer sebagai jalur perdagangan yang melintasi wilayah di Jawa Tengah hingga Jawa Timur.
Bengawan Solo merupakan sungai purba yang menjangkau lintas daerah dan lintas masa. Kelompok Kerja Kebudayaan Bojonegoro mencatat, nama Bengawan Solo digunakan di abad ke-18, masa Keraton Surakarta. Di masa Hindu Buddha dikenal Bengawan Wuluayu, diambil dari nama desa penambangan (penyeberangan), sebagaimana tercatat dalam Prasasti Canggu yang dikeluarkan Raja Hayam Wuruk pada 1358 Masehi.
Pada masa Kesultanan Mataram Bengawan Solo disebut Bengawan Semanggi, diambil dari nama desa di Pasar Kliwon, Surakarta. Semanggi jadi bandar niaga kapal dagang yang hilir mudik dari Solo hingga di Gresik, Jatim. Setelah keraton dipindah dari Kartasura ke Dusun Sala, perkembangan sosial ekonomi Solo berpengaruh pada sebutan para saudagar dari luar menuju pusat pemerintahan dekat bengawan, hingga masyurlah Bengawan Solo.
Bojonegoro saat itu masuk Kadipaten Jipang, menjadi salah satu urat nadi perdagangan. Setidaknya itu dibuktikan dengan temuan perahu kuno di Desa Padang, pada 2007 dan perahu besi masa VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) di Desa Ngraho, Kecamatan Gayam.
Menurut Bupati Bojonegoro Suyoto, Bengawan Solo jadi cermin diri dan warganya. Tak perlu ke semua pelosok pedesaan untuk memahami Bojonegoro, cukup pergi ke Bengawan Solo. ”Dulu, tak ada bibir sungai menganga, kedalaman ekstrem hanya ada di tikungan. Beberapa tahun terakhir, ada banyak luka di sepanjang tubuhnya. Luka lantaran mesin penyedot pasir yang terus menghajarnya,” katanya.
Pada 2014, penambang pasir di Bojonegoro yang memakai mesin mekanik (penyedot) mencapai 223 unit, penambang pasir manual (tradisional) sebanyak 70 unit dan pemilik tambang pasir sebanyak 208 orang. Masyarakat perlu diberi pengertian, penambangan dengan mesin penyedot bisa merusak lingkungan. Sosialisasi dilakukan hingga desa-desa.
Penambangan secara mekanik dilarang, operasi tambang pasir ilegal digencarkan. Penambang pasir ilegal di sepanjang sungai tidak cukup ditertibkan dengan jalan hukum, tetapi perlu pendekatan sosial dan lingkungan. ”Kecintaan dan kesadaran menjaga sungai harus dimiliki semua orang, khususnya di desa sekitar bengawan. Festival Bengawan Solo hanya titip pesan,” ujarnya.