Program raja disampaikan penyair yang disebar di kampung-kampung. "Gelarnya para penyair ini adalah 'radio begigi' atau 'radio megigau'. Waktu itu radio memang sudah ada, tetapi di Aceh belum ada," kata Muda yang tidak mengetahui persis tanggal kelahirannya itu.
Zaman penjajahan Belanda, lanjut Muda, rakyat Aceh bersatu melawan kaum penjajah. Berkurangnya para penghikayat Aceh sangat terasa ketika meletus peristiwa G-30-S PKI tahun 1965.
"Saat itu terjadi pembantaian luar biasa. Banyak penghikayat hilang. Kebetulan penghikayat pantai selatan (Kabupaten Aceh Selatan) lolos. Dari sinilah mereka berasal sekarang," kata Muda.
Laki-laki kelahiran tahun 1980 di Desa Seunuboek Aluebuluh, Kecamatan Pakongan, Kabupaten Aceh ini mulai berkenalan dengan hikayat gara-gara menonton pertunjukan hikayat pada hajatan perkawinan atau acara khitanan di desanya.
Namun, apa lacur, orangtua malah melarang keras Muda Baliya belajar seni hikayat. Saat itu nyaris tak ada anak muda yang memainkan hikayat, selain karena hikayat tak bisa dijadikan gantungan hidup.
"Orang kampung bilang pekerjaan hikayat itu orang yang malas kerja. Orang seni dianggap tak penting. Kala itu yang penting, pergi ngaji dan sekolah. Padahal sejak SD saya sudah naik panggung. Sekolah diabaikan," tutur ayah dengan dua anak, Lia Santika (kelas 4 SD) dan Ramatullah (kelas 1 SD), ini mengenang.
Muda Baliya prihatin, pemain hikayat semakin langka. "Kalau pembaca hikayat banyak. Mereka sekolah, pergi ke toko buku, cari buku hikayat, tinggal baca di depan banyak orang. Kalau pemain hikayat bisa dihitung dengan jari, karena mereka mainkan kisah lama atau legenda tanpa membaca teks," paparnya.
Keprihatinannya semakin bertambah di mana Pemprov Aceh jarang memintanya tampil membawakan hikayat Aceh.
Malah pihak luar negeri yang selalu mengundangnya. Muda sempat diundang ke Shanghai dan Singapura. Pada Mei 2016, Muda Baliya mengaku diundang ke Jepang.
"Saya berterima kasih kepada media massa yang selalu mengangkat hikayat Aceh," katanya.