Kendati masyarakat setempat telah kehilangan lebih kurang 500 hektar lahan bercocok tanam di kaki Gunung Ciremai, keinginan untuk menjaga hutan tetap hidup. Pasalnya, lahan pertanian kini mendapatkan pasokan air yang cukup.
”Dulu, saat kemarau, seminggu hanya sekali air mengalir ke sawah. Sekarang, bisa 2-3 kali air mengalir,” ujar Jajang.
Masyarakat juga melestarikan 67 jenis anggrek di Argapura dengan menyimpannya dalam tempat khusus. Tidak hanya itu, jamur kuping dan tiram putih dimanfaatkan jadi produk makanan, seperti keripik hingga nugget. Hasilnya pun dinikmati masyarakat.
Menurut data Balai TNGC, pada 2007, jumlah mata air di wilayah TNGC sebanyak 95 titik. Berkat pemahaman masyarakat yang mulai mengembalikan fungsi hutan, mata air di kawasan tersebut pada 2014 bertambah menjadi 106 titik.
Namun, lanjut Jajang, belum semua masyarakat terlibat dalam pemanfaatan wilayah TNGC. ”Masyarakat masih butuh pelatihan dan pemberdayaan. Sebab, kami kehilangan mata pencarian sejak hutan beralih fungsi,” katanya.
Kepala Balai TNGC Padmo Wiyoso mengatakan, pengelolaan wilayah TNGC untuk wisata oleh masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraan warga setempat. ”Masyarakat desa harus membangun daerahnya, tidak hanya terus-menerus mengandalkan investor,” katanya. (Abdullah Fikri Ashiri)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.