Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Koo Siu Ling, Melacak Leluhur Melalui Makanan

Kompas.com - 10/01/2016, 08:23 WIB
Satu ciri yang unik, di setiap resep tidak pernah diberi ukuran bahan. Akibatnya, setiap mencoba resep itu Ling harus menanyakan ke kenalannya.

”Saya memperhatikan buku itu setelah ibu meninggal tahun 2000. Dulu buku ini kan tidak dianggap. Beberapa tahun sesudahnya saya melihat itu. Saya tahu buku tersebut tidak boleh dibuang. Lama masih tersimpan di lemari hingga saya mulai mengetik ulang. Tidak ada amanah untuk tidak dibuang, tetapi saya mengerti dan waktu kecil saya mengerti buku itu dan saya tahu buku itu lebih berharga dibandingkan dengan buku-buku yang lain,” tuturnya.

Bolak-balik ke Malang

Apakah Anda pernah mencoba resep di dalam buku tersebut?

”Iya. Saya harus pergi ke Malang untuk mencoba resep itu. Saya masih bertemu dengan pembantu tante saya yang umurnya sekitar 70 tahun, dan ada juga saudara saya yang pintar masak. Saya bolak-balik (ke) Malang sejak tiga tahun yang lalu,” kata Ling.

Ia mengaku tidak pernah mencoba masakan itu di Belanda karena di dalam buku tersebut tidak ada ukuran bahan-bahan dalam resep, selain karena sulit mencari beberapa bahan makanan.

”Saya baru mengerti, melalui buku ini kalau makanan itu bukan sekadar makanan, melainkan juga kebudayaan dan sejarah. Karena itu, makanan harus ditaruh dalam konteks sejarah. Dari masakan ini, sekarang saya mengerti sejarah orang Tionghoa di Indonesia, khususnya di Jawa Timur,” tuturnya.

Banyak makanan yang merupakan pencampuran budaya Jawa, Tionghoa, hingga Belanda dalam resep-resep di buku itu. Ia menyebut antara lain kehadiran petis dan juga cwie mie di Jawa Timur menjadi penanda pengaruh etnis Tionghoa di Jawa Timur.

Saat menulis buku itu, sesuatu yang menyulitkannya adalah mencari data tentang makanan, sejarah, dan beberapa rempah. Ia harus mencari di sejumlah perpustakaan.

Ling mengaku, kalau tidak menemukan data yang benar, ia tidak berani menulis mengenai makanan itu. Untuk menyelesaikan bukunya, Ling membutuhkan waktu empat tahun. Buku tersebut terdiri dari tiga bahasa, yaitu bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan bahasa Indonesia.

”Saya memilih tiga bahasa karena, dengan bahasa Inggris, jangkauannya akan lebih luas. Ada bahasa Belanda agar orang Belanda bisa baca buku ini. Saya masih tetap merasa sebagai orang Indonesia, karena itu harus dengan bahasa Indonesia. Lidah saya masih Indonesia meski bahasa saya kurang bagus,” kata Ling terkekeh.

Ketika dipuji bahasa Indonesianya masih bagus, ia kembali tersenyum.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com