Sekilas tarian ini terkesan seram dan sedikit kejam. Ada aura pertarungan yang meruap di antara kedua penari yang berhadapan memegang cambuk untuk saling memukul dan tameng untuk berlindung.
Suara cambuk yang diputar-putar di udara, lalu dilecutkan kepada lawan, sungguh membuat dada kami yang menyaksikan berdegup kencang. Apalagi jika cambuk itu mengenai kulit yang dengan serta-merta mengucurkan darah. Aduhhh....
Namun, di balik kengerian itu ada keindahan yang tersaji karena di dalam caci terkandung tiga unsur seni. Selain unsur tari, para penari juga berlagu yang dimaknai sebagai lantunan doa kepada pencipta dan roh leluhur.
Pada kostum yang dikenakan para penari, khususnya di bagian kepala, ada lima sudut yang melambangkan simbol keyakinan hidup orang Manggarai.
Rumah sebagai tempat perlindungan, kampung sebagai pusat persatuan, air sebagai sumber kehidupan, kebun sebagai sumber kesejahteraan, dan gerbang sebagai penjaga atau pengawal kampung.
Paduan gerak tubuh, lagu, dan seni busana yang indah itu menyajikan kesatuan yang padu, yang akan menghapus kesan seram dan kejam pada caci.
Di antara awan putih yang berarak di langit biru Liang Ndara, para penari caci menampilkan keluwesan dalam gerakan-gerakan mereka yang gagah.
Ungkapan syukur
Kristoforus Nison, Ketua Sanggar Riang Tana Tiwa yang berpusat di Kampung Cecer, mengatakan, dahulu caci digelar setelah panen sebagai ungkapan rasa syukur kepada para leluhur dan pencipta semesta.
”Caci digelar saat orang Manggarai membuka kebun. Dengan caci yang diwarnai tabuhan gong dan kendang, roh leluhur yang baik akan hadir, sementara roh yang jahat akan pergi,” ujar Kristoforus.
Dalam perjalanannya, caci kemudian dilakukan saat upacara keagamaan dan upacara kenegaraan, salah satunya untuk menyambut wisatawan yang datang berkunjung ke Liang Ndara seperti kami.
Tak kalah seru dengan caci adalah tete alu, tarian atau bisa juga disebut permainan tradisional yang dimainkan oleh sekelompok orang, biasanya berjumlah delapan orang.
Cara memainkannya adalah dengan bergerak di antara bilah-bilah bambu yang digerakkan dengan cepat. Tete alu adalah tarian untuk muda-mudi, biasa dimainkan kala bulan purnama tiba.
Dibutuhkan keterampilan dan konsentrasi tinggi bagi penari agar kaki tak terjepit bilah bambu. Demikian pula dengan orang yang bertugas menggerakkan bilah-bilah bambu.
Menjajal tete alu, entah sebagai penari atau penggerak bilah bambu, sama sekali bukan perkara mudah bagi pemula seperti kami.
Menikmati tete alu dan memandang Labuan Bajo dari ketinggian sungguh menghadirkan perasaan berbeda. Ada kegembiraan yang menular saat menyaksikan para penari bergerak lincah dan penggerak bilah-bilah bambu berkonsentrasi menggerakkan bilah-bilah bambu yang menimbulkan irama ritmis.
Atau bisa juga tinggal sejenak di Kampung Cecer, menikmati waktu yang lesap di antara alam yang sunyi. Menyaksikan aktivitas sehari-hari masyarakat, memetik kopi, memecah kemiri, dan menumbuk kopi manggarai agar siap diseduh untuk menemani detik yang berganti menit tanpa ketergesaan.
Labuan Bajo memang tak hanya laut dan langit biru.... (Dwi As Setianingsih)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.