Festival yang berlangsung pada 20-24 Februari 2016 itu merupakan salah satu kegiatan untuk menyemarakkan Penyengat, pulau kecil di pesisir Tanjung Pinang.
Sejumlah permainan dan olahraga dikompetisikan dalam festival itu. Panitia juga akan menghelat tanding pantun, seminar, dan klinik sastra. (Menpar: Target Kepri 2,5 Juta Wisman Pasti Tercapai)
Setiap malam diselenggarakan pentas seni tradisional di balai desa pulau itu. Tentu saja ada seminar produk intelektual terpenting Penyengat: Gurindam XII.
Permainan tradisional yang dilombakan antara lain jong, layang-layang, hingga gasing.
Sementara olahraga tradisional yang dipertandingkan di antaranya renang, layar, dan dayung. Layar dan dayung menggunakan sampan yang sehari-hari dipakai penduduk setempat.
Jong sebenarnya salah satu jenis perahu yang dikenal di Nusantara. Perahu itu dibuat dari sebatang kayu utuh yang dilubangi bagian dalamnya agar ada ruangan untuk duduk atau mengangkut aneka barang.
Sementara sampan merupakan perahu yang dibuat dari beberapa bilah papan. Karena jong semakin jarang, warga melestarikannya dengan membuat jong mainan dengan panjang rata-rata 1,5 meter. Setiap jong dilengkapi selembar layar.
Dengan festival itu ada alternatif bagi pelancong yang bertandang ke Penyengat. ”Biasanya, Penyengat didatangi karena ingin melihat peninggalan sejarah. Lewat festival ini ada alternatif wisata lain,” ujar Wali Kota Tanjung Pinang Lis Darmansyah.
Festival itu memungkinkan pelancong melihat dan merasakan sendiri kebudayaan Melayu. Selain dari Kepulauan Riau, peserta juga datang dari beberapa provinsi lain di Indonesia. Ada juga peserta dari sejumlah negara Asia Tenggara.
Apabila tidak ada festival, Penyengat tetap disambangi pelancong. Pulau yang dapat dicapai dari Tanjung Pinang dengan berperahu mesin selama 15 menit itu menjadi ibu kota Kesultanan Riau-Lingga selama 11 tahun.
Sebelum dipindahkan ke Penyengat oleh Sultan Abdurraham II Muazzam Syah, ibukota kesultanan itu berada di Daik, Pulau Lingga.
Selama 76 tahun, Daik menjadi ibu kota dan kediaman sultan atau Yang Dipertuan Besar serta pejabat utama negara. Sementara Penyengat saat itu lebih difokuskan sebagai pusat budaya sekaligus salah satu kediaman Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau.
Sebagai kediaman YDM, pusat budaya, dan kemudian dijadikan ibu kota negara, Penyengat punya beberapa peninggalan yang masih terawat hingga kini.
Bangunan paling terkenal adalah Masjid Sultan Riau atau lebih dikenal sebagai Masjid Penyengat. Bangunannya masih bertahan sejak didirikan pada 1832.
Masjid berhias 17 kubah itu dilengkapi dua rumah di halaman depan. Di masa lalu, rumah-rumah itu difungsikan sebagai tempat istirahat pengelana atau dijadikan tempat bermufakat.
Kini, satu rumah dijadikan tempat shalat perempuan, satu lagi dijadikan ruang baca. Untuk istirahat pelancong, ada balai di antara dua rumah itu.
Di dalam masjid, pelancong antara lain akan menemukan Al Quran yang ditulis Abdurrahman Istanbul. Pria asal Riau itu dikirim Kesultanan Riau-Lingga belajar ke Turki pada 1867. Salah satu peninggalannya adalah Al Quran yang tersimpan di Masjid Penyengat.
Gandrung pengetahuan
Pembesar Riau-Lingga memang gandrung pengetahuan sehingga kesultanan itu menghasilkan banyak hal penting yang dampaknya terasa sampai sekarang.
Buku itu adalah literatur tata bahasa pertama untuk bahasa Melayu modern, induk bahasa Indonesia.
Intelektual yang sama menghasilkan Gurindam XII, sajak tentang budi pekerja sekaligus panduan tata bahasa Melayu. Salinan lengkap Gurindam XII antara lain bisa ditemukan di tugu dekat Pelabuhan Tanjung Pinang, Taman Gurindam di Tanjung Pinang, dan tentu saja di beberapa tempat di Penyengat.
Kegandrungan bangsawan Riau-Lingga atas produk sastra tulisan tidak hanya menghasilkan Bustanul Salatin dan Gurindam XII.
Pada 1888 dan 1889, di Daik diterbitkan buku yang menceritakan soal Napoleon Bonaparte dan Louis Napoleon. Buku-buku lain dengan aneka tema bahasan juga banyak diproduksi selama masa kejayaan kesultanan itu.
Sayang, Istana Damnah di Daik yang menjadi pusat inisiasi penerbitan buku-buku itu sudah musnah hampir seabad lalu. Ketika ibu kota Riau-Lingga dipindahkan ke Tanjung Pinang, Daik ditinggalkan begitu saja.
Istana yang tersisa dari kesultanan itu adalah Istana Kantor di Penyengat. Disebut Istana Kantor karena untuk pertama kali kesultanan menjalankan pemerintahan dari istana.
Selain Istana Kantor, peninggalan lain di Penyengat adalah Bukit Parit. Dari sana, Kesultanan Riau-Lingga berperang dengan Belanda pada awal abad XX. Sisa gudang senjata, parit penghubung antarmeriam, dan beberapa meriam masih terlihat di sana.
Di Penyengat juga bisa ditemukan kompleks makam pembesar dan kerabat Kesultanan Riau-Lingga. Kerabat yang dimakamkan di sana antara lain Engku Putri Raja Hamidah, pemilik sejati Pulau Penyengat.
Penyengat memang menjadi mahar atau mas kawin dari Sultan Mahmudsyah untuk Engku Putri Raja Hamidah. Setelah menerima pulau sebagai mahar pada 1805, Engku Putri Raja Hamidah dinikahkan dengan Sultan Mahmudsyah. Kini, dua abad kemudian Penyengat semarak oleh Festival Pulau Penyengat. (Kris Razianto Mada)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.