Aula kelurahan, masjid, dan warung kopi menjadi tempat mereka merangkul warga dan anak-anak sekolah untuk peduli terhadap penyu.
Hingga kini, Wiwid masih bergerilya mengajak warga untuk menyelamatkan penyu. Kamis (17/3/2016), misalnya, ia mendatangi sekolah-sekolah untuk mengenalkan kecintaan kepada penyu dan mengajak anak-anak ikut melestarikannya.
Kepada anak-anak, ia menerangkan keberadaan penyu yang kian hilang. Penyu yang mendarat ke pantai kian sedikit karena regenerasi hampir terputus akibat perburuan telur penyu.
”Sekitar 20 tahun lalu, mudah sekali melihat penyu bertelur. Kini susah. Bisa terbayangkan akibat perburuan telur penyu,” ujarnya.
Jatuh-bangun
Wiwid punya kecintaan luar biasa terhadap penyu. Kecintaannya berawal dari seekor penyu yang ia selamatkan saat terjaring jala nelayan.
Gerakan yang ia jalankan tak selalu mulus. Pernah suatu kali mereka kehilangan telur penyu yang telah mereka selamatkan di tempat perlindungan penyu di Pantai Boom. Pernah juga mereka kehilangan pompa air yang menjadi peralatan penting dalam penetasan penyu.
Gara-gara telur penyu hilang, polisi pun menyisir pasar mencari penadah penyu. Ternyata ada hikmah dalam peristiwa pencurian itu. Kini telur penyu tidak lagi bebas diperdagangkan di pasar-pasar secara terbuka karena pedagang takut ditangkap polisi.
Untuk menyelamatkan penyu, Wiwid pun harus jatuh-bangun membiayai gerakannya. Pada awal gerakannya, Wiwid sempat menghitung besaran dana yang harus ia keluarkan untuk membiayai gerakan penyelamatan penyu.
Jika dihitung-hitung, sekitar Rp 12 juta ia keluarkan setiap bulan saat itu. Uang itu sangat besar bagi Wiwid yang sehari-hari berbisnis peralatan elektronik.
Uang itu sebagian ia gunakan sebagai uang lelah para nelayan yang setiap malam membantunya. Ia juga menggunakan uangnya untuk membeli nasi bungkus atau kopi saat mereka harus lembur di musim penyu bertelur.
”Mereka tak meminta bayaran sebenarnya, tetapi mereka, kan, tak bisa bekerja saat membantu saya. Ya, sekadar kopi bisa menyenangkan mereka,” kata Wiwid.