Di pelataran itu, setiap malam selama Wula Phodu digelar musik, tarian adat, dan pemberian sesajian kepada leluhur oleh Rato. Para orangtua mengenakan pakaian tradisional Sumba.
Rato Tarung, Rato Lado Regi Tera, mengatakan, kampung adat Tarung sering disebut ”Tarung Waibaka” karena Kampung Waibaka menyatu dengan kampung adat Tarung. Waibaka merupakan ”adik kandung” Tarung dengan jumlah rumah adat sebanyak 12 unit.
”Saudara kandung lain dari Tarung, selain Waibaka, adalah Pardhe Lembung dan Bodo Ede yang letaknya sekitar 50 meter arah utara Tarung. Nama-nama itu diambil dari nama leluhur yang datang di Sumba. Tarung sebagai kakak sulung,” kata Tera.
Penduduk kampung adat itu masih beragama asli, yakni Merapu, sebuah kepercayaan asli mengenai Tuhan yang bertelinga besar dan bermata lebar, mampu mendengar segala bunyi, serta melihat segala sesuatu yang tersembunyi.
Mereka tidak menganut agama yang diakui pemerintah, seperti Kristen, Islam, Katolik, Hindu, dan Buddha. Jika ada warga menganut salah satu dari agama-agama itu, warga itu harus pindah dari kampung dan bergabung dengan masyarakat Sumba umum yang sudah memeluk agama tertentu.
Tantangan
Semua kegiatan, perkataan, perbuatan, tata cara membangun rumah, dan urusan adat di kampung adat itu selalu mengarah pada wujud tertinggi, Merapu. Perkawinan adat pun dilakukan sesuai kepercayaan tradisional, Merapu. Tidak pernah ada warga Tarung atau kampung adat lain melangsungkan pernikahan di rumah ibadah resmi yang diakui negara.
Namun, kata Tera, warga kampung adat itu terus mendapat tantangan untuk menghilangkan tradisi dan adat leluhur itu. Salah satu cara yang paling ampuh (keras) adalah mewajibkan setiap anak sekolah dasar pergi ke rumah ibadah pada Minggu atau Jumat.
Anak-anak itu harus meminta tanda tangan pemimpin ibadah dan menulis isi ringkas khotbah dari pendeta, pastor, atau ustaz (imam).
”Itu berarti, mereka memaksa kami harus memeluk agama tertentu yang diakui pemerintah. Anak-anak harus memeluk agama tertentu sebagai upaya melenyapkan agama asli Sumba yang menurut mereka adalah keyakinan kafir. (Padahal) mereka tahu, anak-anak dari kampung ini hanya memiliki agama asli, Merapu,” kata Tera.
Tidak hanya itu, pada kartu tanda penduduk warga Tarung juga ditulis memeluk agama tertentu. Padahal, mereka beragama asli, Merapu.
Alasannya, agar warga beragama tradisional itu mendapatkan pelayanan pemerintah berupa beras untuk masyarakat miskin, kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, bantuan tunai langsung, dan lainnya.
Karena Merapu dianggap agama primitif, setiap kegiatan Merapu di kampung itu hingga tahun 2007 tidak mendapatkan bantuan pemerintah.
Ritual Pasola, Wula Phodu, dan kegiatan adat lain selalu berawal dari rumah adat sehingga pemerintah daerah setempat mulai memberi perhatian ke kampung-kampung adat.
Namun, ada kecenderungan pemerintah mengambil alih beberapa bagian dari ritual adat, seperti penentuan tanggal penyelenggaraan Wula Phodu, Pasola, dan pernikahan adat.
Hal tersebut mengakibatkan warga Tarung seolah bertarung dalam tradisi leluhur dan desakan kemajuan kota. (KORNELIS KEWA AMA)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.