Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gus De Bangga Menjadi Warga Sanur

Kompas.com - 26/05/2016, 16:11 WIB

IDA Bagus Gede Sidharta Putra (48), putra asli Sanur, Kota Denpasar, Bali, menyemangati warga untuk mandiri. Ia percaya, jika bersatu, warga bisa menjaga wilayah pesisir selatan itu. Semangat itu diwujudkan lewat pengembangan pendidikan, kearifan, ekonomi lokal, serta Sanur Village Festival yang telah berjalan selama 10 tahun ini.

Delapan tahun Gus De, panggilan akrab Ida Bagus Gede Sidharta Putra, belajar dan bekerja di Amerika Serikat. Tetapi, tanggung jawab sebagai penerus keluarga dan kerinduan mengabdi di tanah kelahiran mendorongnya pulang kampung.

”Justru kehidupan yang sebenarnya mapan di Amerika Serikat bisa menjadi modal untuk diterapkan di sini. Saya bisa menerapkannya di bisnis keluarga. Selain itu, sebagai Ketua Yayasan Pembangunan Sanur, saya bisa menularkan karakter disiplin, kreatif, tegas untuk banyak orang,” kata Gus De di Griya Santrian, Denpasar, Bali, April lalu.

Bagi dia, Sanur telah memiliki segalanya: pantai, keindahan matahari terbit, budaya, kesenian, serta sumber daya manusia. Apa yang tersedia tidak kurang. Namun, dia tetap merasa ada yang perlu dibenahi sehingga kawasan ini bisa lebih maju lagi.

Pulang ke Tanah Air, Gus De bergabung bersama kedua saudara kandungnya membesarkan bisnis keluarga di Sanur yang dirintis sejak 1968. Ini amanat dari orangtua. Mereka melebarkan hotel-hotel di bawah bendera Santrian di Bali. Kini, bisnis itu telah menghidupi lebih dari 1.000 karyawan. Sekitar 99 persen dari total karyawan berasal dari Sanur dan sekitarnya.

Ada beberapa manajer orang asing, tetapi semua kendali tetap di tangan Gus De serta dua saudaranya. Ia tak mau amanat bisnis—yang juga demi menjaga taksu Bali—menjadi pudar karena menggunakan kacamata konsumen dan manajer orang asing.

Seiring waktu menjalankan bisnis akomodasi wisata, Gus De terus memikirkan pengembangan Sanur. Pada 2006, ia terpilih menjadi Ketua Yayasan Pembangunan Sanur (YPS). Yayasan ini didirikan oleh orang-orang kelahiran Sanur asli, termasuk ayahanda Gus De, Ida Bagus Tjethana Putra.

Dibentuk tahun 1965, yayasan ini menjadi wadah untuk mengantisipasi kekhawatiran kerasnya gempuran industri pariwisata dan yang rentan menggerus adat budaya Bali.

Gus De berusaha menggali dan memaknai kembali semangat itu. Untuk itu, warga Sanur harus tetap bertahan, membangun, menjaga, melestarikan, dan bangga menjadi orang Sanur.

”Yayasan ini didirikan oleh orangtua kami karena resah desakan industri pariwisata modern. Tahun (1965) itu, hotel pertama lebih dari tiga lantai berada di Sanur. Setelah itu, pariwisata pesat dan bermunculan bisnis akomodasi. Dengan yayasan ini, Sanur masih bisa mempertahankan keberadaan orang asli tanpa tergusur dari tanah kelahiran sendiri,” katanya.

Sanur Village Festival

Gus De kemudian mendorong regenerasi dengan melahirkan para penerus. Ia pun mendapatkan ide melahirkan Sanur Village Festival (SVF) sebagai wadah untuk merangkum semua kalangan, mulai dari anak-anak hingga orang tua di kawasan itu, untuk bersama terlibat mengembangkan Sanur.

Warga menyiapkan tema tahunan. Tarian, gamelan, sendratari, permainan, musik tradisional, musik modern, kuliner, dan sejumlah permainan juga digerakkan. Puluhan juta rupiah dari kantong Gus De diberikan untuk pelestarian Sanur.

Kebetulan, SVF lahir bersamaan dengan tragedi bom di Kuta pada tahun 2005 yang menghantam industri pariwisata Bali. Gus De ingin kesedihan ini tak berkepanjangan. Sanur tetap bisa dan harus bangkit sehingga pariwisata harus bisa berwarna lagi.

Ia sempat dicibir karena SVF dimunculkan saat sepi wisatawan. Namun, bagi Gus De, festival itu justru membuka peluang dan momentum untuk menggaungkan semangat warga Bali yang kuat dan bersatu.

Acara demi acara budaya, seni hingga pentas, serta permainan disusun. Kepolisian dirangkul untuk menjamin Sanur dan Bali tetap aman dan nyaman. Sejumlah kamera perekam di beberapa wilayah dipasang. Yayasan menjadi payungnya.

”Ini upaya pelestarian tradisi agar masyarakat juga tidak frustrasi serta mendukung pariwisata. Astungkara, SVF mendapatkan respons luar biasa. Ini benar-benar menjadi semangat tahun-tahun berikutnya. Dan, 10 tahun agenda tahunan berjalan lancar,” ujar.

Anggaran pribadi Gus De memang terkuras beberapa tahun awal untuk membangun SVF. Tetapi, semua itu sepadan dengan kebanggaan bahwa masyarakat bisa terlibat dalam kegiatan itu. Banjar-banjar berebutan ingin tampil. Tradisi mulai mendarah daging kembali dan kebanggaan sebagai warga Sanur kembali membara. Kini, SVF sudah menghidupi dirinya sendiri.

”Yayasan sudah mandiri anggarannya untuk SVF sejak lima tahun terakhir. Keberadaan saya tinggal mengarahkan saja. Ini jerih payah seluruh masyarakat yang bersedia ngayah (gotong royong tak dibayar),” kata Gus De.

Pembangunan karakter

Tidak hanya urusan tradisi seni dan budaya, yayasan juga mendorong pembangunan karakter melalui sekolah. Pengalaman Gus De belajar dan merasakan disiplin di luar negeri diterapkan di kampung halamannya.

Sekolah di Sanur ini, tutur Gus De, berdiri memanfaatkan bangunan bekas milik pekerja bangunan. Beberapa tahun lalu, kelasnya hanya anyaman bambu serta tembok sederhana. Kini, bangunannya berupa gedung yang layak dan prestasi siswanya terus membaik.

Gus De menelusuri guru-guru kelahiran Sanur dan mengajak mereka membangun kawasan itu. Selain menekankan kecintaan kepada daerah itu, ia tawarkan juga gaji memadai. Sejumlah guru pun bergabung.

Tak berhenti di situ, Gus De mendorong pertumbuhan ekonomi. Pariwisata tak hanya memberi kehidupan bagi pegawai hotel, tetapi juga didorong untuk menginspirasi dan menggerakkan ekonomi warga. Untuk itu, berbagai usaha ditempuh.

Usaha ekonomi berangsur menggeliat, mulai dari pasar tradisional, warung makan, galeri lukisan, kerajinan, pramuwisata, agen perjalanan, hingga wisata air. Tahun 2015, sejumlah usaha kecil dan menengah bergabung menawarkan pengembangan ekonomi lewat jaringan dunia maya.

Di luar urusan SVF dan YPS, Gus De juga punya seabrek aktivitas sosial. Maklum, dia adalah keturunan Ida Bagus, tokoh yang dihormati dalam adat Bali. Belum lagi, dia juga mesti membagi perhatian untuk keluarga.

Namun, dengan disiplin dan konsisten bekerja, dia bisa memberikan waktu untuk semua kegiatannya itu. ”Seorang pemimpin diuji dan saya harus sabar dan kuat. Apalagi, keluarga sangat mendukung dan menjadi penyemangat,” katanya.

Cita-cita Gus De mulai tercapai. Kini, hampir semua masyarakat Sanur bangga mengatakan kami warga Sanur. Bahkan, pemerintah pusat menjadikan Sanur sebagai contoh masyarakat mandiri. Banyak wisatawan domestik dan mancanegara menanti gelaran tahunan SVF.

”Setidaknya keberadaan saya menjadi ketua di yayasan bisa memberi warna, penyemangat, dan makna bagi masyarakat Sanur,” kata Gus De seraya tersenyum. (Ayu Sulistyowati)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Mei 2016, di halaman 16 dengan judul "Bangga Menjadi Warga Sanur".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com