Gazebo kecil untuk piknik juga disediakan dengan peringatan dilarang corat-coret namun tetap saja tidak mampu menahan tangan-tangan jahil. Ruang ganti hasil proyek pemerintah sebelum pemekaran Tana Toraja tak terawat dengan baik.
Kulirik jam tanganku. Pukul 11.03. Namun tak ada tanda-tanda orang lain yang berkunjung. Paling lama 15 menit berkendara untuk menuju ke sini. Jalanannya cukup baik dengan tanjakan, turunan yang terbilang cukup terjal. Tidak jauh dari pusat kota Rantepao.
Mungkin tak banyak yang tahu tentang Limbong. Seperti saya. Saya adalah penghuni kota Rantepao sejak tahun 1983, To Baba’ Toraya. Nenek laki-laki asli Tiongkok meminang perempuan Toraja dari Kantun Poya.
Di Toraja tidak mengenal panggilan Kakek, yang ada hanya sebutan Nenek baik itu untuk laki-laki maupun perempuan. Sedari kecil hanya mengunjungi tempat wisata yang terkenal dan itu-itu saja.
Ataukah ini sebuah usaha untuk mengobarkan kembali pariwisata Toraja yang sudah redup? Toraja seperti masih berada dalam bayang-bayang dampak bom Bali yang tercatat merenggut sebanyak 202 korban jiwa tahun 2002. Sudah 14 belas tahun telah berlalu, Toraja merangkak perlahan merengkuh kembali kejayaannya.
“Sebenarnya kolam alam limbong ada tiga," jelas Samuel Paseru, Sekretaris Kecamatan Lembang Limbong, seorang kawan lama, juga merangkap tetangga yang kebetulan berkantor di dalam kawasan wisata Limbong.
“Sayangnya kolam pertama sudah tertimbun lumpur, yang kedua belum dibersihkan dan aksesnya berbatu dan licin. Tapi justru kolam kedua menurut saya paling bagus, bentuknya seperti huruf S," lanjutnya lagi.
Samuel berbaik hati mengajak kami untuk mengintip kolam kedua yang dimaksud. Seperti sebuah lemari yang membawa Lucy ke dunia ajaib dalam kisah "The Lion, The Witch, and The Wardrobe", kolam kedua tersembunyi di antara tebing dan pepohonan. Tak bisa melihat dengan jelas bikin efek misterius semakin menyeruak.
Tak ada cerita tradisional yang berkembang tentang Limbong. Namun Samuel membenarkan ada seorang meninggal di sini. Bukan karena direnggut kedalaman kolam, tetapi sakit jantung yang dideritanya.
“Bukan karena tenggelam, tapi airnya dingin dan orangnya memang ada sakit jantung,” Samuel menjelaskan.
Sepeda air yang bocor, ruang ganti yang tampak kumuh, jalanan pendek menuju kolam ketiga Limbong, gazebo kecil penuh makian jeritan hati, serta homestay yang berubah wujud sementara menjadi kantor pegawai Lembang adalah bantuan pertama kali dari pemerintah sebelum pemekaran Toraja menjadi Toraja Utara dan Tana Toraja.
“Limbong sejak dari kita kecil sudah ada,” kata Samuel.
“Lekka Mama’ Risto, taun pira raka na den te Limbong e?" Samuel bertanya dalam bahasa Toraja pada Mama’ Risto yang sedang melantai dengan kain jahitannya. “O sudah lama, sejak bumi ini ada," jawabnya singkat sambil tersenyum.
"Kalau adik dapat kawan baru sayang, kawan yang lama dilupakan jangan." Lagu populer anak Trio Kwek Kwek, Soleram. Wisata baru pun bermunculan, diciptakan di Toraja, menepikan Limbong, menanti kepedulian pemerhati wisata.
Ngengat cantik bersayap kesana kemari, transformasi menakjubkan dari ulat bulu, spesies menggelikan. Gatal dan jelek rupa ulut bulu namun sanggup bermetamorfosa menjadi kupu-kupu indah menawan. Fase perubahan panjang dan menyakitkan namun dengan hasil akhir yang mengagumkan.
Limbong boleh jadi seperti ulat bulu yang harus melalui transformasi agar terlihat menawan, atau hanya akan bernasib sama dengan sampan yang mengap-mengap di tepian kolam. Kutarik nafas panjang, menghembuskannya bersama harapan ke langit bersama kepakan sayap kupu-kupu cantik. Saatnya pulang. (Primalia Howarto/www.elmosphere.com)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.