BANYAK kegiatan selama ini di Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur dilaksanakan di alam bebas, seperti di gunung atau di pinggir pantai. Rapat di hotel merupakan hal biasa. Tapi saat ini belum lazim bagi siapa saja mengadakan kegiatan atau rapat di ruangan antara langit dan bumi.
Ruangan yang sangat cocok untuk mengadakan rapat sambil berpetualangan di antara langit dan bumi adalah goa alam Batu Cermin, di Desa Batu Cermin, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, Pulau Flores.
Rabu (31/8/2016) sore, rombongan jurnalis dari Jakarta yang sedang meliput kegiatan lembaga Food and Agriculture Organization (FAO) Indonesia meluangkan waktu berkunjung di goa alam Batu Cermin, ujung barat Pulau Flores.
Setelah meliput di daerah pedesaan di Kampung Melo, Desa Liang Ndara dan Kampung Mbrata, Desa Macang Tanggar, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, rombongan disuguhkan keindahan alam dan panorama di pesisir pantai Manggarai Barat. Mulai dari Pantai Gorontalo, Pantai Pede dan pelabuhan Labuan Bajo.
Sontak semua rombongan jurnalis dari Jakarta yang pertama kali meliput di Labuan Bajo sepakat untuk mengunjungi goa alam itu. Selama ini mereka mengetahuinya dari media massa.
Sopir travel dan seorang jurnalis nasional yang berada di Flores mendampingi rombongan itu menuju ke Goa Batu Cermin.
Setiba di pintu masuk areal goa, rombongan membayar karcis masuk. Setiap pengunjung dikenakan Rp 20.000 per orang. Jadi, rombongan ada tujuh orang membayar uang masuk Rp 140.000.
Perjalanan selama lima menit dan tiba di pelataran di tengah areal Goa Batu Cermin. Dari pelataran itu dapat melihat kemegahan dan kekokohan goa alam dengan batu cadas.
Pemandu lokal terus memberikan keterangan dan data-data detail tentang Goa Batu Cermin. Rombongan tidak menyia-nyiakan kesempatan dengan foto bersama di pintu masuk goa tersebut. Selanjutnya, mulailah mereka menjejakkan kaki di tangga-tangga goa tersebut.
Menaiki tangga beton dilanjutkan dengan tangga batu alam perlu kewaspadaan ekstra karena batu alam sangat tajam. Selanjutnya rombongan istirahat di titik pintu masuk goa. Pemandu membagikan helm safety. Sedihnya, banyak helm safety sudah rusak.
Pemandu menginformasikan tentang kewaspadaan memasuki goa alam di antara langit dan bumi dan berbatu cadas. Satu per satu masuk, semua berjalan agak merunduk sambil memegang helm supaya kepala tidak terantuk dengan stalaktit yang sangat tajam.
Setelah berhati-hati berjalan merunduk sampailah mereka di ruangan di antara langit dan bumi. Ruangan ini sangat besar dan pengunjung bisa berdiri. Ruangannya sangat lebar. Ruangan ini sangat cocok menjadi tempat rapat di dalam goa. Jika komunitas atau lembaga ingin mengadakan rapat di goa alam bebas, maka Goa Batu Cerminn sangat tepat dan cocok.
Belum puas sampai di ruangan itu, rombongan menuju ke tempat yang disebut Batu Cermin yang terus dipandu oleh pemandu lokal. Dalam ruangan itu, rombongan jurnalis bertemu dengan pengunjung lainnya yang berwisata di tempat itu.
Menurut Salup, Goa Batu Cermin ditemukan oleh seorang misionaris asal Belanda yang bertugas di Keuskupan Ruteng. Disebut Batu Cermin, lanjut Salup, ada sebuah lubang bulat di celah-celah goa itu, di mana sinar matahari masuk ke dalam goa melalui lubang tersebut.
Sinar matahari itu dipantulkan di batu-batu sehingga mengakibatkan sinar itu menyinari ruangan. Jadi di areal Goa Batu Cermin terdapat dua ruangan di antara langit dan bumi. Unik dan ajaib.
“Luas area goa yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat adalah 19 hektar. Goa ini dikelilingi pemukiman masyarakat Kota Labuan Bajo. Goa ini berada di pusat Kota Labuan Bajo. Akses dari bandara dan pelabuhan sangat dekat. Kini, jalan masuk sudah diaspal. Ini dampak dari Sail Komodo bagi pembangunan infrastruktur jalan di obyek wisata,” tutur Salup.
Setiap hari selalu ada wisatawan berkunjung ke goa ini, baik secara pribadi maupun rombongan.
“Beberapa bulan lalu sangat ramai dikunjungi wisatawan mancanegara dan nusantara. Kalau hari-hari belakangan ini, jumlah kunjungan wisatawan tidak terlalu ramai,” kata Aleksius.
Wartawan Republika, Ahmad Islamy Jamil, yang pertama kali mengunjungi Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat kepada KompasTravel menjelaskan, Labuan Bajo dengan ikon komodo menjadi daya tarik bagi jurnalis Jakarta untuk melakukan peliputan berita dan perjalanan wisata.
“Semua wartawan Jakarta rindu untuk meliput keunikan binatang komodo yang menjadi ikon dunia. Selain itu keindahan alam menjadi daya tarik tersendiri untuk digali dari seorang jurnalis,” jelasnya.
Bahkan, setiap suku yang berada di sembilan Kabupaten di Flores ini memiliki bahasa ibu sendiri. Itu yang unik dan perlu diteliti dan dikaji lebih jauh. Jadi Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu anak-anak bangsa di Pulau Flores dan Lembata.
“Saya sangat kagum dengan alam di Pulau Flores. Saat mendarat di Bandara Komodo dua hari lalu, dari atas pesawat melihat keindahan alam dan baharinya,” kata Ahmad.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.