Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Teheran, Jangan Menilai dari Bandaranya

Kompas.com - 23/09/2016, 19:03 WIB

JANGAN menilai buku dari sampulnya. Pepatah itu bisa juga berbunyi ”jangan menilai suatu kota hanya dari bandar udaranya”. Itu pula pengalaman saat pertama kali menjejakkan kaki di Teheran, Iran, Minggu (7/8/2016), sekitar pukul 11.00.

Bandara Internasional Imam Khomeini Teheran membuat tercengang karena sepi. Lorong kedatangan hanya mengakomodasi penumpang yang sepesawat dari Dubai. Menjelang pemeriksaan imigrasi, ada perasaan waswas mengingat berbagai pemberitaan media internasional tentang Iran.

Setelah pemeriksaan imigrasi yang berjalan lancar, kami sampai di tempat pengambilan koper. Hanya ada satu korsel di sana. Itu pun tak banyak yang mengantre. Meskipun terkesan bersahaja, bandara tersebut bersih hingga ke toilet.

Foto Ayatollah Rohullah Khomeini dan Ayatollah Ali Khameini terpampang di tengah ruangan. Keduanya pemimpin tertinggi Iran. Khomeini memimpin revolusi Iran dan makamnya terletak di selatan Teheran menuju bandara. Khameini menggantikan Khomeini sejak tahun 1989.

KOMPAS/NINUK MARDIANA PAMBUDY Fasilitas bermain untuk anak-anak ada di banyak taman di Teheran, Iran, salah satunya di kompleks Menara Milad. Pada musim panas, para keluarga biasa berekreasi hingga pukul 23.00.
Rasa ingin tahu melihat Teheran setelah 10 tahun menjalani sanksi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, menuntun perjalanan tiga hari ke Teheran atas undangan Pertamina yang tengah menjajaki kemungkinan mengoperasikan ladang Ab-Teymour dan Mansouri di selatan Iran yang kaya minyak.

Sebetulnya wajah Iran sudah mulai terlihat di bandara. Pertama-tama, busana para perempuannya. Sebagian dari mereka menutup seluruh tubuh, kecuali wajah, dengan burka hitam. Tetapi, tidak kurang pula yang mengenakan busana berwarna cerah longgar yang panjangnya hingga ke tengah paha dipadu celana panjang.

Kerudung wajib dikenakan, meskipun banyak perempuan muda menutup hanya sebagian kepala, ujungnya menutup dada. Hampir semua mengenakan rias wajah dengan rambut dicat, umumnya warna coklat, dalam berbagai gradasi.

Tampaknya kemenangan kelompok moderat yang mendukung Presiden Hassan Rouhani dalam pemilu Februari lalu memberi pengaruh pada cara berbusana yang lebih longgar daripada saat pemerintahan sebelumnya.

Darah Persia memberi mereka hidung mancung, tulang pipi tinggi, dan kulit terang. Singkatnya, dari sepuluh perempuan Iran, yang cantik 11 orang, mulai dari anak-anak hingga yang berusia lanjut.

KOMPAS/NINUK MARDIANA PAMBUDY Ayam goreng, burger, dan kentang goreng yang populer di Amerika Serikat juga disukai warga Teheran, seperti di restoran cepat saji di kompleks Menara Milad, Teheran.
Mereka juga ramah, tak keberatan diminta berfoto bersama, meskipun komunikasi kami menggunakan bahasa isyarat. Pun sangat membantu saat ditanya arah kembali ke hotel ketika saya ”tersesat” di Taman Laleh yang terawat rapi di pusat kota. Sangat berbeda dari citra yang muncul dalam berita media internasional.

Saat kami mendengarkan pemandu di Menara Milad, menara multifungsi setinggi 435 meter—diklaim tertinggi keenam di dunia—yang buka hingga pukul 23.00, tiba-tiba seorang ibu dan putrinya mengajak bercakap-cakap dalam bahasa Inggris terpatah-patah dan berfoto. Ternyata mereka pernah ke Bali.

Terus berjalan

Teheran tampak sebagai kota yang dibangun terencana. Dari puncak Menara Milad, wajah kota terlihat dibagi dalam jaringan teratur. Pegunungan Alborz yang terlihat kecoklatan pada musim panas, menjadi latar belakang.

Metropolitan Teheran adalah kota modern dan sibuk. Jalannya memiliki rata-rata tiga lajur dan dipadati mobil bermerek, seperti Peugeot, Renault, dan mobil buatan Iran, salah satunya Saipa. Maserati juga mulai tampak di sana.

KOMPAS/NINUK MARDIANA PAMBUDY Penyekat ruangan bergambar wayang di Paviliun Ahmad Shahi di rumah musim panas Shah Iran Mohammad Reza Pahlevi di Teheran kini menjadi museum. Penyekat itu pemberian Presiden Soekarno.
Di tengah sanksi ekonomi PBB dan AS, pembangunan Iran terus berjalan. Iran memiliki industri mobil dan motor, meskipun sebagian suku cadangnya diimpor dari Tiongkok. Teheran juga memiliki jaringan kereta api bawah tanah yang melayani 8,5 juta penduduk kota.

Bangunan lama tetap terpelihara. Istana bekas tempat tinggal Shah Iran Mohammad Reza Pahlevi yang meninggalkan Iran saat pecah revolusi tahun 1979, misalnya, terawat baik hingga ke isinya dan menjadi tempat kunjungan wisata.

Salah satunya Niavaran yang merupakan rumah musim panas. Di paviliunnya, tempat Shah Reza dulu tinggal, ada penyekat ruangan bergambar wayang kulit pemberian Presiden Soekarno.

Sanksi PBB sudah dicabut sejak Januari 2016 dengan syarat Iran memenuhi janji menggunakan teknologi nuklirnya untuk keperluan damai. Negara ini bersiap mengejar ketertinggalannya. Tetapi, Amerika Serikat masih memberlakukan sejumlah sanksi dengan akibat cukup merepotkan.

Kartu kredit tidak berlaku di hampir semua tempat karena layanan kartu kredit terhubung dengan sistem keuangan AS. Ekspor ke Iran banyak melalui negara ketiga sebab bank-bank besar memilih bersikap menunggu. Kopi Torabika yang digemari di Iran, misalnya, harus melalui Dubai untuk sampai ke Teheran.

KOMPAS/NINUK MARDIANA PAMBUDY Taman laleh di pusat kota Teheran, Iran, menjadi salah satu tempat favorit warga kota metropolitan berolahraga pada pagi hari. Teheran dijuluki sebagai kota seribu taman karena banyak taman kota. Pada musim panas, keluarga-keluarga biasa bermalam di taman.
Jejak fisik ketidaksukaan warga Iran kepada Amerika Serikat masih tertinggal. Di salah satu gedung tinggi di dekat bekas Kedutaan AS, tulisan ”Down with the USA” terpampang mencolok dari kejauhan.

Seribu taman

Teheran mendapat sebutan kota seribu taman. Taman umum yang terawat ada di mana-mana. Pada musim panas dengan suhu sekitar 32 derajat celsius pada siang hari dan 20 derajat pada malam hari, warga Teheran senang berada di taman hingga malam hari, bahkan menginap.

Taman Laleh di dekat Hotel Espinas di pusat kota ramai oleh mereka yang berolahraga pagi, termasuk pada hari kerja, Selasa. Di pinggir taman beberapa tenda berdiri dan sejumlah selimut tebal digantung di tiang.

Jembatan Tabiat, menghubungkan dua taman yang terpisah oleh jalan raya, merupakan karya arsitektur ikonik. Jembatan berkelok yang resmi digunakan tahun 2014 itu dirancang arsitek Iran, Leila Araghian, saat berusia 26 tahun.

KOMPAS/NINUK MARDIANA PAMBUDY Teheran mendapat julukan Kota Seribu Taman karena taman ada di mana-mana. Salah satu kegiatan yang disediakan adalah bersepeda di mana jalur sepeda tersedia di taman itu.
Jembatan ini dengan sendirinya membuat orang ingin berlama-lama menikmati pemandangan ke arah dua taman di bawahnya sambil memandang kota Teheran.

Teheran memiliki banyak tempat menarik. Berjalan malam hari juga aman, bahkan untuk perempuan.

Seperti dikatakan Sekretaris III Fungsi Ekonomi Kedutaan Indonesia di Iran merangkap Turkmenistan, Novi Baiq, dia merasa sangat aman berjalan sendiri pada malam hari. ”Pelaku kekerasan terhadap perempuan dihukum berat, bisa hukuman mati kalau memperkosa,” kata Novi. (NINUK MARDIANA PAMBUDY)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 September 2016, di halaman 28 dengan judul "Jangan Menilai dari Bandaranya".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com