Pilihan moda transportasi yang terbatas ini juga membuat Rémi harus mencoret sejumlah gunung api dari daftar, antara lain Gunung Arjuno, Rao, dan Tambora.
”Untuk mencapai gunung itu, dibutuhkan 1 hari untuk berangkat dan 1 hari untuk pulang. Dengan perhitungan waktu 1 bulan, saya tidak mungkin mencapainya,” kata Rémi.
Pengalaman KakiApi ini menginspirasi Rémi untuk menyiapkan detail informasi pendakian gunung berapi yang ada di Indonesia.
”Bagi orang Perancis, hanya 1-2 gunung berapi di Indonesia yang akrab, seperti Rinjani dan Bromo. Tapi, yang lain mereka tidak tahu. Menurut rencana, saya mau membagikan pengalaman saya ini,” ujarnya.
Sejumlah kosakata kunci, seperti jalur, puncak, kiri, kanan, apakah ojek ada?, rental motor?, menjadi tambahan kata-kata penting yang akan dicantumkannya dalam bukunya.
Kosakata ini, menurut Rémi, penting karena sebagian besar warga di kaki gunung hanya mengenal bahasa Indonesia.
Akrab sejak kecil
Mendaki bukit diakrabi Rémi sejak kecil. Memang, bukan mendaki gunung berapi karena di Perancis tidak ada gunung api. Yang ada adalah deretan Pegunungan Alpen.
”Di Perbukitan Alpen, saya dan adik laki-laki saya sering diajak mendaki bukit pada musim panas. Waktu itu, saya berumur sekitar 10-11 tahun. Itu jalur akrab buat kami karena dilakukan setiap sekali dalam sebulan,” katanya.
Menginjak usia 25 tahun, Rémi mulai menjajal maraton atau trail race alias berpacu di alam. ”Dan, saya menyukainya,” ucapnya sambil tersenyum.
Pengalaman itu kian terasah saat ia mendapatkan kesempatan bekerja di Indonesia. Waktu itu, ia bergabung dengan sebuah perusahaan di Perancis yang menjual peralatan pendeteksi seismik dan gempa bumi.
Sebagai insinyur, Rémi dipercaya untuk menjelaskan penggunaan alat kepada klien serta memperbaiki alat jika
rusak.
Salah satu pengguna alat itu adalah Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Jadilah ia terikat kontrak untuk menjalani tugas itu di Indonesia pada 1 September 2015 hingga 28 Februari 2017.