KETIKA berbuka puasa, kita dianjurkan memulai dengan makanan yang manis. Makanan manis lebih menjadi sumber kalori yang mudah diserap tubuh, terutama saat tingkat metabolisme menurun akibat puasa.
Nah, berbukalah dengan baklava karena manisnya moderat, tidak terlampau manis, sehingga selera makan terjaga.
Baklava, makanan asli Turki ini, menjadi salah satu menu takjil andalan dalam sesi berbuka puasa di restoran berkonsep all-day-dining, Cinnamon, Mandarin Oriental, Jakarta.
Baklava disajikan berderet bersama dengan kurma, mouhalabieh, dan umm ali. Seetalase dengan itu semua berderet juga bubur shafar madura, es campur, pisang goreng, pia, dadar gulung, dan es krim.
Ketika azan Maghrib berkumandang, saya menyeruput seteguk air putih dan mencicipi baklava almond tadi.
Semula saya menduga makanan ini manis banget sebagaimana cita rasa orang Timur Tengah yang kalau membuat masakan manis itu sampai tahap keterlaluan. Terlalu manis.
Rupanya baklava ini manisnya moderat, pas di lidah. Bahkan kalah manis dengan kurma.
Teksturnya yang agak kasar tetapi lembut di lidah seolah memberi kesempatan mulut untuk mengunyah dan meresapi sensasi manis dan gurih almond lebih lama.
Meskipun tak selembut baklava, camilan ini tak kalah sensasional disantap saat berbuka. Seperti mengunyah puding roti, tetapi diselipi kelembutan almond.
Lalu seperti bocah mengundang teman-temannya, almond tadi disusul rasa kayu manis, gurih telur, dan kelapa.
Saya sempat berhenti mengunyah dan membiarkan sesendok umm ali mengendap di bawah langit-langit, untuk mencari gambaran sensasi rasa tadi. Lalu saya menyadari, kadang kelezatan itu tidak perlu diwakili kata-kata.
Bahan-bahan itu ditimbun serutan es batu lalu disiram sirup dan susu kental manis. Dahaga sehari rasanya tiada terasa lagi.