Ini adalah kuil paling keren yang pernah saya liat. Walaupun, saya lebih menyukai kemegahan Candi Borobudur dan Prambanan, namun Angkor Wat lebih terasa magis-nya. Selain berfoto, kami menyempatkan diri untuk mendapatkan blessing dari seorang biksu disini.
Phnom Bakheng
Kuil abad ke-10 ini merupakan tempat paling populer untuk menyaksikan sunset, sehingga sangat ramai pada sore hari. Kami lebih memilih untuk menjelajah di sini saat matahari terbit karena masih sepi.
Angkor Thom dan Bayon
Angkor Thom dulunya adalah ibu kota Khmer yang terakhir dan paling abadi. Kompleks berdinding besar ini merupakan pusat kota terbesar di dunia pada tahun 1200.
Tepat di pusat Angkor Thom, terdapat lebih dari 50 menara, dengan masing-masing dihias oleh empat kepala dan wajah raksasa Buddha Avalokiteshvara yang mirip dengan sang raja.
Ta Prohm
Kuil ini mungkin merupakan tempat yang paling terasa atmosfernya dari semua Kuil Angkor. Kuil yang dibangun oleh Raja Jayavarman VII diperuntukkan sebagai tempat tinggal ibunya.
Konon, di kuil ini menjadi bukti terjadinya kekuatan alam yang mengamuk sekaligus mengagumkan. Di sini, terdapat akar pohon besar yang menembus bangunan kuil. Saat melewati bangunan batu, kami melihat banyak pohon raksasa tumbuh dari puncak kuil.
Ta Keo
Hari sudah siang dan udara semakin gerah, saat kami mengunjungi Kuil Ta Keo. Raja Suryavarman mendirikan kuil ini pada abad ke-10, namun tidak pernah selesai.
Di sini kami sempat tersesat mencari arah pintu keluar. Akibatnya, kami harus menyewa tuk-tuk untuk kembali ke parkiran depan, atau berjalan kaki sejauh dua kilometer.
Kelelahan berdiri, berjalan keluar masuk kuil, akhirnya kami putuskan Ta Keo sebagai kuil terakhir kami yang kami kunjungi.
Bong Cheni memaklumi ketika melihat kami tak kuat untuk melanjutkan perjalanan. Katanya, memang butuh waktu sedikitnya 3 hari untuk mengunjungi sebagian besar kuil, atau seminggu agar lebih mendalami semua area Angkor seluas 1.150 mil persegi ini.
Kami mampir di sebuah restoran lokal untuk makan siang. Restoran ini hanya khusus menjual makanan berbahan beras atau nasi. Mulai dari nasi putih, nasi goreng, nasi bakar dan mi nasi, sampai hidangan nasi manis sebagai penutup.
Untungnya, kami sudah selesai makan saat Julia berteriak kaget, karena melihat seekor tikus lewat. Masih terbawa cerita tikus, Julia bertanya apakah di area ini ada ranjau?
Sembari meneguk bir Angkor, Bong Cheni melanjutkan kisah tikus dan ranjau. Katanya, lokasi rawan ranjau kebanyakan adalah di daerah perbatasan konflik, di mana biasanya berada di luar kota atau pedesaan.
Seekor tikus bisa mencari lebih dari 200 meter persegi dalam waktu 20 menit. Sedangkan, proses melatih tikus untuk mengendus ranjau bukan hal yang mudah. Tikus-tikus ini perlu belajar bagaimana berada di sekitar manusia.
Mereka dilatih dari usia mingguan. Pelatih harus mengajari mereka mulai dari cara berjalan dengan tali di atas badan mereka, mencium bau bahan peledak, sampai mendengar bunyi ‘klik’ yang berarti makanan sebagai hadiah atas temuannya.
Ketika tikus yang sudah terlatih menemukan ranjau, mereka akan berhenti dan menggaruk. Kemudian ahli peledak akan mulai menggali dan meledakkannya di lokasi. Keseluruhan proses pelatihan ini memakan waktu sekitar sembilan bulan untuk setiap tikus.