Berbekal informasi-informasi tersebut, kami datang ke Kasepuhan Ciptamulya. Ya, untuk mendapatkan izin dari pemerintah adat selain ke pemerintah lokal.
Ritual adat dimulai
“Barang-barang ini nanti harus dilinting kemudian dibakar setiap malam, tiap kalian berpindah tempat,” ujar Aki Wanda sembari menunjuk bahan-bahan ritual yang tergeletak di atas karpet, menyan dan panglae(jenis tanaman obat dengan nama latin, Zingiber montanum).
Kedua bahan ritual ini nantinya akan ‘dibekali’ oleh Abah. Kami masuk ke ruangan Abah Enri. Ruangan kecil tersebut mempunyai sebuah singgasana sederhana, berupa tempat duduk dengan level, dan dupa yang dibakar pada sisi kanan dan kirinya.
Sekejap bau dupa menguar. Ritual pun dimulai.
Tak ada satu pun dari kami yang berbicara. Mata kami tertuju ke Abah Enri dan rerendangan. Kami semua duduk berlutut, termasuk seorang rendangan yang duduk di tengah-tengah kami, menghadap Abah yang duduk di atas kursinya. Ia menyampaikan maksud kedatangan kami kepada Abah.
“Istilahnya kalau ada yang punya, harus izin kepada yang punya tersebut,” ujar Aki Didin, seorang dukun di Kasepuhan Ciptamulya, menjelaskan pengalaman yang baru kami alami tersebut. Setelah ritual tersebut, kami dianggap telah mendapat ridho untuk mengarungi Sungai Cibareno.
Hukum adat berlaku baik bagi warga maupun tamu di wilayah adat. Abah merupakan representasi leluhur. Restu leluhur harus menyertai segala aktivitas yang dilakukan masyarakat adat. Dalam wilayah adat, ketidaktaatan dapat berbuah bencana. Karena itulah, siapapun orangnya, selama berada di wilayah adat, wajib hukumnya untuk melakukan ritual adat.
(MUTIA HANUM, anggota organisasi Mapala UI. Artikel ini merupakan hasil perjalanan Tim Eksplorasi Arung Jeram Mapala UI ke Sungai Cibareno)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.