Bagian kelima, ”Ruang Kerja”. Sebuah ruang yang ditata untuk mencoba memberikan gambaran situasi kamar atau ruang kerja Pram di rumahnya. Di sana ada tiga mesin ketik, meja, kursi, rokok, asbak, geretan, sarung yang disukai Pram, celana dan kemeja favorit Pram.
Ada pula piagam Hadiah Budaya Asia Fukuoka (Fukuoka Cultural Grand Prize), 2000. Lalu, UNESCO Madanjeet Singh Prize, Perancis, 1996.
Di bagian lainnya, ada koleksi buku-buku Pramoedya dalam bahasa Indonesia maupun bahasa asing. Yang juga menarik adalah Taman Kata-Kata, sebuah kutipan-kutipan Pramoedya Ananta Toer dari berbagai karyanya.
"Sebagai pengarang saya masih lebih percaya kepada kekuatan kata daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian dari menit, bahkan detik...". Demikian kutipan di Taman Kata-Kata itu.
Engel Tanzil, kurator pameran "Namaku Pram: Catatan dan Arsip" sekaligus pendiri Dia.Lo.Gue mengatakan pameran ini mencoba menghadirkan sosok Pramoedya Ananta Toer.
Pameran ini, lanjutnya, juga merupakan kelanjutan dari pementasan teater Bunga Penutup Abad produksi Titimangsa Foundation.
"Saya ingin buat pameran seperti bikin film ya. Kamu bisa mendalami karakter seorang pram, meriset, membaca tulisannya dia, mendengarkan interview dia, cara dia ngomong, bicara. Dalam pameran ini saya ingin seperti sutradara film. Pram itu bukan dimuseumkan, tapi dihidupkan dalam pameran ini," katanya.
"Saya hampir setiap minggu datang ke rumah Pram di Bojong Gede, Bogor naik KRL. Saya ingin rasakan kenapa ia sampai memilih rumah di Bojong Gede. Tukang ojek di sana sampai sudah hapal sama saya," ujarnya.
Untuk pemilihan koleksi pameran, Engel mengaku dibantu oleh keluarga Pramoedya yaitu cucu-cucunya. Koleksi pameran ia harapkan dapat memunculkan sosok Pram untuk pengunjung terlebih anak-anak muda.
Dalam pameran ini, Engel juga ingin menghadirkan Pramoedya sebagai manusia seutuhnya. Ia ingin masyarakat tahu tentang kegagalan, kesediahan, ketakutan, harapan, kegundahan Pramoedya semasa hidup.
"Lalu juga perjuangan dua wanita dalam hidupnya yaitu Astuti Ananta Toer dan Maemunah. Saya ingin masyarakat punya persepsi dua wanita itu. Astuti seperti ayah dan Maemunah seperti ibunya," ujarnya.