Ia melanjutkan, sebelum disambung, bambu-bambu tersebut dilubangi agar bisa mengalirkan penguapan nira yang akan menjadi moke.
"Semakin panjang rangkaian bambu, semakin bagus pula kualitas mokenya. Rangkaian bambu itu sudah dipasang mati, tidak bisa dibongkar-bongkar," ujar Petrus.
Ia menerangkan, setelah perlengkapan disiapkan, nira atau moke putih dimasukkan ke dalam drum atau pun periuk tanah untuk dimasak.
Ujung bawah bambu betung dipasang rapat-rapat pada mulut periuk atau pun drum tersebut. Kemudian, lanjut dengan pemasakan nira sampai ada penguapan.
"Secara otomatis uap yang dihasilkan akan melalui rangkaian bambu yang sudah disusun. Dalam rangkaian bambu itulah terjadi proses pendinginan dan pengembunan. Dari hasil pengembunan itu ada keluar tetesan air pada ujung bambu. Tetesan air itu ditampung dengan wadah yang sudah disiapkan. Hasil tampungan tetesan air inilah yang disebut moke (tua mitan dalam bahasa Sikka)," kata Petrus.
Ia menambahkan, untuk menghasilkan moke yang baik, moke yang sudah dihasilkan bisa disuling ulang. Bisa 3 sampak 4 kali.
"Yang disuling 3-4 kali itu moke nomor satu atau biasa disebut bakar menyala (BM). Moke yang disuling 2 kali itu disebut moke nomor 2. Dan yang disuling 1 kali itu moke nomor 3," katanya.
Proses memasak nira untuk menjadi moke di Desa Nele Urung, Kecamatan Nele, Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kamis (16/5/2019).
Petrus mengungkapkan, selain sebagai minuman tradisi dan simbol persatuan, saat ini, moke bernilai ekonomi.
Ia mengatakan, puluhan tahun ia menjadi perajin moke di desanya. Hasil jualan moke itu sangat membantu kebutuhan keluarga, termasuk bisa menyekolahkan anak.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.