JAKARTA, KOMPAS.com – Daging yang melalui proses dry aging/dry age kini semakin mudah ditemui di restoran steak mewah di Jakarta. Selain dry age, ada juga proses daging lain yami wet age.
Pada dasarnya, kedua proses ini adalah proses penyimpanan daging. Secara garis besar proses dry aging adalah proses penyimpanan daging dengan cara kering, dan wet aging dengan cara basah.
Kedua proses ini sama-sama bertujuan untuk memberikan tekstur lembut pada daging dan rasa intens. Keduanya memiliki keuntungan dan kerugian dalam prosesnya. Lantas apa perbedaan antara proses dry aging dan wet aging pada daging?
Baca juga: Daging Sapi AS dan Australia, Mana Lebih Enak?
Proses dry aging membutuhkan lebih banyak waktu dan biaya. Daging primary cut (potongan utama) yang berukuran besar disimpan dalam ruangan khusus dengan suhu di atas 0 derajat celsius. Selain suhu, kelembapan juga harus selalu dijaga.
“Kami menjaga suhu sekitar 1-3 derajat celsius. Selain itu kelembapan juga harus sekitar 70 persen dan ada juga kipas yang menjaga aliran udara dalam ruangan. Proses ini memakan waktu sekitar 28 hari,” jelas Peter Zwiener, Co-Founder dari Wolfgang’s Steakhouse ketika ditemui Kompas.com di Grand Opening cabang Jakarta pada Rabu (22/01/2020).
Proses ini membuat enzim yang ada di dalam daging bereaksi. Bagian luar daging akan mengering dan “membusuk”. Lapisan kering ini kemudian akan menjaga cairan atau sari daging untuk tetap berada di dalam daging.
Baca juga: Restoran Steak Mewah asal Manhattan, Wolfgang’s Steakhouse Buka di Jakarta
Sari inilah yang kemudian menghancurkan jaringan otot daging. Membuat daging memiliki tekstur yang lebih lembut. Selain itu, sari yang terkurung di bagian dalam daging akan terkonsentrasi, menghasilkan rasa yang berbeda sepintas emmberi rasa earthy (tanah).
Potongan daging yang bisa diproses dengan dry age hanyalah potongan daging primary cut. Daging harus berukuran besar karena nantinya akan cukup banyak bagian daging yang terpotong pasca proses ini. Karena itulah harga daging dengan proses dry age juga lebih mahal daripada proses wet age.
Proses wet aging terhadap daging merupakan proses yang paling umum dilakukan. Jika proses dry age biasanya hanya dilakukan oleh restoran-restoran kelas atas karena kerumitannya, maka proses wet age sangat mudah dilakukan.
Pada dasarnya, proses wet age adalah teknik sederhana ketika potongan daging dimasukkan ke dalam plastik yang divakum, menghilangkan udara di dalamnya. Daging di dalam plastik tersebut kemudian disimpan dalam suhu beku.
Baca juga: 4 Cara Mengolah Daging Sapi dan Kambing Menjadi Empuk
Proses wet aging ini juga akan membuat daging menghasilkan enzim khusus yang membuat daging cukup empuk tetapi hasilnya tidak seempuk proses dry aging. Cairan atau sari daging tidak akan terkonsentrasi seperti yang terjadi pada daging dengan proses dry aging.
“Proses wet age menjaga daging agar tidak kering. Berbeda dengan proses dry age. Daging wet age akan terus lembab, dan cairan akan terus keluar tidak terjaga di dalam daging,” jelas Peter.
Namun untuk proses wet aging, selain lebih mudah dilakukan juga lebih murah. Daging yang diproses seperti ini bisa berbentuk potongan siap makan. Berbeda dengan daging proses dry aging yang harus merupakan primary cut.
Hal itu membuat daging tidak terbuang banyak. Harganya jadi lebih murah dan mudah untuk didapatkan. Proses wet aging ini biasanya berlangsung 2-10 hari, dimulai sejak pemotongan daging hingga pengiriman untuk sampai ke penjual sudah dikategorikan sebagai proses wet aging.
Namun kelemahannya, menurut Peter kualitas daging dengan proses wet aging ini tidak akan sebaik daging dengan proses dry aging. Salah satunya dari segi rasa, tidak akan seintens daging dengan proses dry aging.
Baca juga: Restoran Bintang Tiga Michelin Tertua di Dunia, Kehilangan Satu Bintangnya
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.