KOMPAS.com - Pernahkah kamu melihat gulungan kertas berisi tulisan China di film-film?
Tulisan yang ada di dalam gulungan itu merupakan salah satu dasar yang perlu dipahami oleh seseorang sebelum belajar lukis dan kaligrafi Tionghoa.
Baca juga:
Adapun seni kaligrafi menjadi salah satu bukti hadirnya peranakan Tionghoa, selain tempat persembahyangan, makanan, dan museum.
Saat mengunjungi Museum Benteng Heritage di kawasan Pasar Lama Tangerang, Kompas.com bertemu guru lukis dan kaligrafi Tionghoa yang sedang mengajar di lantai satu museum.
Guru lukis dan kaligrafi Tionghoa yang tidak ingin disebutkan namanya tersebut mengatakan, sebelum beranjak ke ilmu kaligrafi, seseorang perlu belajar membuat struk (struktur) dasar.
Struk dasar yang dimaksud yaitu garis dan lengkungan yang dibuat menggunakan kuas bercelup tinta cina guna menghasilkan huruf Tionghoa dengan benar.
Salah satu peserta kelas kaligrafi Tionghoa di Museum Benteng Heritage, Udaya Titih, mengatakan bahwa perlu ketelitian dan ketepatan dalam membuat garis dan lengkungan itu.
"Kalau struk-nya salah, tulisannnya juga akan salah," kata Titih kepada Kompas.com di Museum Benteng Heritage, Rabu (11/1/2023).
Kata Titih, perbedaan bentuk dan tingkat kemiringan suatu garis di struk akan menghasilkan interpretasi makna yang berbeda.
Baca juga:
Seseorang yang belajar kaligrafi Tionghoa harus menghafal struk dan mahir dalam menulis struk hingga tuntas dalam membuat huruf Tionghoa.
Adapun perlengkapan yang digunakan saat belajar dasar-dasar kaligrafi Tionghoa yaitu gulungan kertas, tinta cina, dan kuas.
Tinta cina yang digunakan oleh Titih saat itu yaitu tinta cina modern yang sudah berbentuk cairan.
Namun, pada zaman dahulu, kata Titih, seseorang membuat kaligrafi Tionghoa menggunakan batang pohon pinus.
Kuas yang digunakan untuk membuat kaligrafi Tionghoa pun berbeda dengan kuas lukis biasa. Kuas lukis kaligrafi Tionghoa terdiri dari beragam ukuran dengan bentuk dan tingkat ketebalan bulu kuas yang berbeda-beda.
"Bulu kuas yang digunakan terbuat dari banyak jenis bulu binatang. Ada juga yang membuatnya dari bahan sintetis, tapi hasilnya (lukisan) tidak seindah yang dari bulu binatang asli," kata Titih.
Baca juga: 6 Tips Berkunjung ke Museum Benteng Heritage, Bawa Uang Tunai
Beberapa campuran bulu binatang yang digunakan untuk membuat kuas lukis kaligrafi Tionghoa yakni bulu domba, bulu domba dicampur bulu serigala, bulu domba dicampur bulu beruang, bulu rusa, dan bulu musang.
Pemilihan jenis bulu binatang ini ditentukan berdasarkan tujuannya. Apabila diperlukan untuk membuat sebuah lukisan, maka kuas yang digunakan yaitu kuas dengan bulu yang agak kasar.
Sementara itu, kuas yang digunakan untuk menulis biasa yaitu kuas dari campuran bulu binatang.
Sekilas, hasil lukisan dasar-dasar kaligrafi Tionghoa terkesan sederhana dan mudah dibuat.
Akan tetapi, faktanya, proses pengerjaannya tidak semudah yang dibayangkan.
Bahkan, ketika membuat sebuah garis lurus, seseorang harus teliti soal kapan kuas lukis harus ditekan atau diangkat supaya menghasilkan tulisan dengan ketebalan tertentu.
Menurut Titih, makna di balik belajar dasar-dasar kaligrafi Tionghoa bukanlah menuntut seseorang agar cepat mahir dan mendapat hasil yang sempurna.
Akan tetapi, seni membuat kaligrafi Tionghoa justru didapat dari proses pengerjaannya yang bertahap dan tidak instan.
Baca juga: Panduan Lengkap Wisata ke Museum Benteng Heritage Tangerang
"Menurut saya, orang yang belajar kaligrafi itu memang melatih kesabaran dan bisa memengaruhi mental seseorang," ujarnya.
Latihan kesabaran yang dimaksud dapat dilihat dari bagaimana seseorang mengendalikan diri saat menggoreskan kuas dengan perasaan.
Kaligrafi dalam hal ini, kata Titih, tidak hanya merujuk ke kaligrafi Tionghoa, melainkan juga kaligrafi Arab serta kaligrafi campuran Arab dan Tionghoa.
"Ini (belajar kaligrafi Tionghoa) salah satu pelatihan yang banyak manfaatnya. Termasuk melatih emosi, konsentrasi, napas, goyangan tangan, serta posisi tangan saat memegang kuas," kata Titih.
Menurut Titih, makna lain dari belajar kaligrafi yaitu dapat memberi asupan rasa ke tubuh seseorang. Asupan rasa di sini dapat berupa kepekaan terhadap suatu hal.
"Kalau makan (makanan) sehari-hari itu memberi makan tubuh, kalau berbuat baik akan memberi makan hati. Sementara ini (belajar kaligrafi) memberi makan rasa," terangnya.
Kata Titih, seseorang bisa datang ke mana pun untuk memberi asupan hati. Namun, memberi makan rasa menurutnya sulit dilakukan.
"Kalau sudah setingkat beliau (sang guru), dia sudah bisa menikmati rasa, dia bisa menari-nari di atas kertas ini," katanya.
Kenikmatan membuat kaligrafi Tionghoa, kata Titih, bukan bergantung pada tempat, melainkan pada diri seseorang.
"Selama kita bisa menikmatinya, bisa di mana saja, bahkan di ruang sempit pun bisa," katanya.
Baca juga:
Titih menuturkan, setelah enam tahun belajar kaligrafi Tionghoa, dirinya merasakan perubahan pada kebiasaan yang dilakukan, salah satu contohnya berkaitan dengan kebiasaan bangun pagi.
Usai bangun pagi dan berdoa, ia akan melakukan rutinitas belajar kaligrafi.
Kata titih, bukan hal yang mudah dalam belajar kaligrafi Tionghoa. Untuk bisa membuat struk huruf, dirinya membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menekuninya.
"Keindahan itu yang sulit (didapatkan), tapi ketika sudah dicapai, nikmatnya luar biasa" pungkas Titih.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.