Jantung seketika berdegub kencang. Saya sadar jika suara gemuruh itu bukanlah awan hujan, melainkan erupsi besar Merapi.
Baca juga: Rute ke Museum Petilasan Mbah Maridjan, Bisa Dilalui Sepeda Motor
Saat itu, saya tinggal di daerah Banguntapan, Kabupaten Bantul yang cukup jauh dari puncak Merapi.
Saya pun bertanya-tanya, bagaimana kabar mereka yang jaraknya lebih dekat, termasuk Mbah Maridjan di rumahnya yang hanya berjarak sekitar 4,5 km dari puncak Merapi.
Keesokan harinya, tersiar kabar di berita-berita televisi yang menghiasi waktu pagi bahwa Merapi mengalami erupsi besar pada malam harinya.
Ditampilkan pula proses evakuasi masyarakat ke Stadion Maguwoharjo dengan kondisi tubuh yang penuh abu erupsi Gunung Merapi.
Tersiar pula kabar bahwa Dusun Kinahrejo, tempat tinggal Mbah Maridjan, ikut disapu awan panas.
Begitu juga dengan kabar bahwa Sang Juru Kunci Gunung Merapi, yakni Mbah Maridjan, ikut menjadi korban jiwa.
Baca juga: Mengenang Mbah Maridjan, Sang Juru Kunci Gunung Merapi
Setelah Mbah Maridjan meninggal dunia, Juru Kunci Gunung Merapi kemudian dilanjutkan anaknya, yakni Mas Asih atau Suraksohargo Asihono.
Saya baru bisa mengunjungi Dusun Kinahrejo setahun setelahnya, tepatnya pada 2 Oktober 2011.
Saat itu, museum Petilasan Mbah Maridjan masih outdoor. Hanya terdapat mobil relawan dan dua sepeda motor (yang diterjang awan panas Merapi) yang dipajang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.