Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menelusuri Jejak Islam Masuk ke Tanah Kutai

Kompas.com - 16/03/2024, 02:46 WIB
Silvita Agmasari

Editor

Sumber Antara

KOMPAS.com - Di bawah naungan kerajaan Kutai Kertanegara yang semula bercorak Hindu, tepian Sungai Mahakam di Kalimantan Timur menyimpan kisah pergeseran keyakinan dan pergolakan politik.

Pada sekitar 1575, kerajaan ini mengalami titik balik sejarah. Pada era itulah, Raja Kutai memeluk Islam, menandai transisi dari monarki Hindu ke era baru.

Kutai Kertanegara menganut Hindu pada akhir abad ke-13 hingga pertengahan abad ke-16. Pengaruh Islam mulai terasa pada masa Raja Makota (1525-1600), ketika kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Sumatera, dan Melayu mulai menjalin hubungan perdagangan.

Interaksi ini membawa budaya baru, termasuk pemberian nama bernuansa Islam pada putra-putra raja, seperti Maharaja Sultan (1360-1420) dan Raja Mandarsyah (1420-1475).

Baca juga:

Menurut analisis ahli sastra Melayu Constantinus Alting Mees, momen penting peralihan agama terjadi pada 1575.

Kedatangan seorang mubalig Islam di Tepian Batu, Kutai Lama, membuka jalan bagi rakyat Kutai Kertanegara untuk mengenal Islam. Raja Kutai saat itu, yakni Raja Makota (1525-1600), memeluk Islam.

"Keputusan ini menandakan awal era baru bagi Kutai Kertanegara. Islam menjadi agama resmi kerajaan, dengan corak religiusitas yang inklusif dan akomodatif serta mengusung toleransi antar-umat beragama," ujar Sejarawan Kaltim, Muhammad Sarip, yang menulis buku berjudul Histori Kutai: Peradaban Nusantara di Timur Kalimantan dari Zaman Mulawarman hingga Era Republik.

Namun, pergolakan politik tak terhindarkan. Sekitar 60 tahun setelah transisi Islam, Kerajaan Martapura dinasti Mulawarman di Muara Kaman runtuh.

Tak lama kemudian, utusan maskapai dagang Belanda, VOC, datang ke Kutai. Situasi semakin memanas. Maka timbul gejolak dengan serangan pasukan koalisi Sulu dan Bugis pada ibu kota Kutai di penghujung abad ke-17 atau awal abad ke-18.

Akibatnya, ibu kota kerajaan berpindah beberapa kali. Ibu kota Kerajaan Kutai berpindah ke Jembayan pada 1732, dan kemudian ke Tenggarong pada 1782. Di bawah kepemimpinan Sultan Aji Muhammad Idris, Kutai Kertanegara terlibat konflik dengan VOC di Sulawesi.

Jejak dakwah 

Pada abad ke-16, Kesultanan Aceh Darussalam, pusat peradaban Islam di ujung Pulau Sumatera, menerima permintaan dari Raja Tanete di Sulawesi Selatan untuk meredakan perselisihan akibat perbedaan keyakinan.

Kesultanan Aceh pun mengutus tiga ulama yakni  Abdullah Makmur (Datuk Ri Bandang), Sulaiman (Datuk Ri Pattimang), dan Abdul Jawad (Datuk Ri Tiro).

Saat di Gresik, Jawa Timur, mereka bertemu dengan Tuan Tunggang Parangan, ulama yang memiliki misi serupa. Keempatnya sepakat untuk berdakwah bersama di Pulau Sulawesi.

Kedatangan mereka di Kerajaan Tanete membawa angin segar. Misi dakwah mereka berhasil merajut kerukunan antarumat beragama.

Baca juga: 5 Masjid Megah dengan Arsitektur Unik di Indonesia, Pas untuk Wisata Religi

Datuk Ri Bandang dan Tuan Tunggang Parangan kemudian melanjutkan perjalanan ke Makassar, dan kembali menuai kesuksesan dalam mengislamkan penduduk.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com