Di sejumlah persimpangan blok —biasanya dekat dengan lampu lalu lintas— akan dengan mudah didapati pintu-pintu masuk menuju terminal bawah tanah. Dari sana, penduduk setempat dapat melanjutkan perjalanan ke berbagai tujuan dengan menggunakan kereta. Jika ditotal, jarak mereka berjalan kaki bukan tak mungkin mencapai hitungan satu atau dua kilometer.
Mereka harus terus berjalan kaki, bukan hanya saat berada di jalur pedestrian, melainkan juga saat mencari kereta di terminal bawah tanah. Saya menduga, kebiasaan berjalan kaki —di samping pilihan makanan ala Jepang yang memang dikenal sehat— membuat mayoritas orang yang saya temui di jalan mempunyai bentuk badan yang ideal.
Sulit menemukan orang dengan kelebihan berat badan di sini. Setidaknya, kesan itu yang membekas di benak saya setelah beberapa jam berjalan kaki menikmati trotoar dan juga terminal subway di kota ini.
Sayangnya, sulit pula mencari warga yang bisa mengonfirmasi asumsi saya ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak penduduk di Jepang yang tidak mampu berbahasa Inggris, bahkan untuk percakapan tingkat dasar.
Bersih tanpa tempat sampah
Hal lain yang menjadi begitu berkesan dari Nagoya adalah kebersihannya. Di sepanjang trotoar hingga tangga-tangga menuju terminal bawah tanah sekalipun tak pernah dijumpai sampah yang tercecer.
"Kalau di Jakarta udah penuh puntung rokok nih," kata seorang rekan seperjalanan sambil menunjuk ke anak tangga di salah satu stasiun bawah tanah.
Anak tangga menuju terminal subway Sakae itu memang terlihat sudah tua. Warnanya hijau kehitaman, tetapi tidak kotor. Bahkan tak ada debu yang kasatmata terlihat di atasnya.
Trotoar selebar empat atau lima meter di kota ini juga bersih dari sampah. Rumput-rumput liar yang biasa tumbuh di pinggir beton pembatas trotoar pun tak ada. Sudut-sudut trotoar yang berbatasan dengan jalan aspal, resik tanpa sampah.
Pohon-pohon rindang yang memagari trotoar sangat terawat dengan bentuk dan ukuran yang sama. Tanah di bawah pohon-pohon itu juga bersih.
Uniknya pula, di sepanjang jalan yang memagari blok-blok pertokoan dan perkantoran di wilayah itu sama sekali tidak ada tempat sampah. Ketiadaan tempat sampah tidak lantas membuat warga kota ini membuang sampah sembarangan. Justru sepertinya kondisi itu memaksa mereka menyimpan sampah yang ada di tangan, dan membuangnya di rumah.
Lagi-lagi sulit untuk tidak membandingkannya dengan apa yang terjadi di Indonesia. Tengoklah, saat sebuah kota sedang berlomba meraih penghargaan Adipura. Selain pot bunga, barang yang disebar di penjuru kota oleh pemerintah setempat adalah tempat sampah.
Rasanya, apa yang terlihat di Kota Nagoya tidak membuktikan itu. Tingkat peradaban wargalah yang menyumbang peran paling besar bagi sebuah kota untuk menjadi bersih dan terbebas dari sampah. (Bersambung...)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.