Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jejak Masa Lalu dalam Sebuluh Bambu

Kompas.com - 22/12/2013, 08:07 WIB
SELALU ada kisah di dalam sehidangan santapan, begitu pula dalam beragam tradisi bersantap di sejumlah kawasan di Indonesia timur. Di sana, beragam tradisi bersantap menjadi artefak hidup dari jaring-jaring perdagangan, perompakan, persekutuan, dan pertikaian suku bangsa di Indonesia timur.

Bercy Kalengit menggelar daun pisang wanan lebar yang segar di atas meja dapur Yoel Sungi. Kedua tangannya terhunjam ke semangkok beras yang terendam air. Perlahan ia menaburkan beras basah itu di kiri-kanan tulangan daun pisang. Dua taburan beras memanjang lantas ia tutup dengan menggulung dua belahan daun pisang tersebut.

Tangannya lantas mengelus daun pisang itu, merapikan sepasang lontong ”kembar dempet” itu. ”Sekarang sudah tahu kan kenapa beras cala juga disebut nasi kembar,” kata Kalengit.

Hati-hati ia mengangkat calon nasi kembarnya dan memasukkannya ke dalam bambu hijau yang jarak antar-bukunya 1 meter lebih. ”Kita harus memakai bambu lou-lou yang jarak antarruas bambunya panjang agar bisa membuat nasi cala yang panjang. Daun pisang yang membuntal berasnya pun khusus, yaitu daun pisang wanan yang lebar dan liat. Beras terbaik untuk nasi cala adalah beras ladang yang secara turun-temurun kami tanam,” kata Kalengit.

Kalengit dan belasan perempuan Kampung Gamtala harus membuat sekitar 60 nasi cala ukuran besar untuk dihidangkan dalam pesta adat penggantian atap nipah sasado atau rumah adat tradisional suku Sahu di Kampung Gamtala, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara. Yoel Sungi menuturkan, nasi cala yang tak berbumbu itu adalah hidangan wajib dalam setiap pesta adat di Gamtala.

Jejak pertautan

Gamtala yang terletak di Pulau Halmahera pernah begitu dekat dengan pusat kekuasaan, ketika Kesultanan Jailolo di Halmahera berjaya menguasai Maluku Utara. Kesultanan Jailolo akhirnya ambruk dan dihancurkan Kesultanan Ternate pada 1551.

Penaklukan Jailolo oleh Ternate mengawali sejarah panjang persaingan Ternate dan Tidore yang menautkan sejarah sejumlah kawasan di Indonesia timur. Mulai dari Minahasa dan Manado; Ambon, Banda, dan Seram yang kaya cengkeh di Maluku, hingga kawasan Kepala Burung dan Teluk Cenderawasih di Papua Barat dan Papua. Nasi buluh bambu adalah jejak tautan masa lalu itu.

Meski memiliki cita rasa yang sama sekali berbeda, nasi cala dari Gamtala sungguh serupa dengan nasi jaha yang kerap dimasak dalam beragam pesta masyarakat Minahasa di Sulawesi Utara. Tradisi memasak beras dalam buluh bambu juga menapak di kawasan Teluk Cenderawasih dan Sorong di Papua dan Papua Barat.

”Tradisi memasak nasi dalam buluh bambu adalah tradisi baru yang dipengaruhi tradisi kuliner Maluku Utara atau Minahasa. Sulit memastikan asal-usul pengaruh itu karena interaksi orang Papua, Maluku, dan Minahasa sangat panjang dan intens,” kata antropolog dan Ketua Lembaga Riset Papua, Johszua Robert Mansoben.

Jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa pada abad ke-15, tradisi korsandi menghidupkan kompetisi sengit para mambri (sebutan bagi orang terpandang) Biak untuk berlayar jauh. Penjelajahan bahari yang panjang dan lama para mambri itu berbekal forma, sagu yang dibakar dalam buluh bambu dan kini dikenal di mana-mana.

”Sebaliknya, para mambri pulang membawa cara memasak nasi dalam buluh bambu. Rica-rica adalah contoh lain tradisi santap Minahasa yang kini menjadi santapan sehari-hari di Teluk Cenderawasih. Transaksi tradisi bersantap juga dibawa orang Sanger yang kerap terdampar di Biak Utara dan Supiori Utara,” kata Mansoben. Rica-rica juga santapan yang jamak didapati di Ternate, Tidore, ataupun Halmahera.

Tradisi dagang

Muridan S Widjojo—sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang meneliti relasi sejumlah suku bangsa di Indonesia timur dalam perang pemberontakan Sultan Nuku dari Tidore—menilai kemiripan beragam santapan di Indonesia timur dilumasi sosolot, tradisi ekspedisi dagang orang Seram yang sejak abad ke-15 mengangkut damar, pala panjang, dan kulit buaya dari Papua sejak abad ke-15.

Sebagai bandar transito cengkeh dan pala, Seram Timur disinggahi ekspedisi dagang dari berbagai penjuru Nusantara, termasuk para pelaut Bira di Sulawesi Selatan.

Sejumlah dokumen syahbandar Banda dan Seram abad ke-17 menunjukkan, para pelaut Biak dan Raja Ampat masih menjadi pemasok sagu di kedua pulau itu. Beberapa dokumen VOC dari abad ke-17 juga menyebutkan kapal perompak Biak, Raja Ampat, Jailolo, Sanger yang ditangkap VOC juga mengandalkan sagu sebagai bekal selama melaut.

”Relasi panjang dalam bentuk dagang, perompakan, pertikaian, juga persekutuan perang telah meleburkan beragam tradisi kuliner di kawasan Indonesia timur,” kata Muridan.

Warga Danau Sentani dan Palopo, misalnya, sama-sama memiliki sajian jenang sagu berkuah sop ikan.

Orang Danau Sentani di Papua menyebutnya papeda, memasak jenang sagu dan sop ikan kuah kuning secara terpisah. Orang Palopo di Sulawesi Selatan menyatukan jenang sagu dan sop ikan dalam semangkuk sajian kapurung. Keduanya sama-sama segar oleh rasa asam, sama-sama kaya rempah, sama-sama bakal memuaskan selera. (Aryo Wisanggeni)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

WSL Nias Pro 2024 Digelar, Targetkan Gaet 30.000 Wisatawan Domestik

WSL Nias Pro 2024 Digelar, Targetkan Gaet 30.000 Wisatawan Domestik

Hotel Story
Pengalaman ke Pasar Kreatif Jawa Barat, Tempat Nongkrong di Bandung

Pengalaman ke Pasar Kreatif Jawa Barat, Tempat Nongkrong di Bandung

Jalan Jalan
Libur Panjang Waisak 2024, KAI Operasikan 20 Kereta Api Tambahan

Libur Panjang Waisak 2024, KAI Operasikan 20 Kereta Api Tambahan

Travel Update
Pasar Kreatif Jawa Barat: Daya Tarik, Jam Buka, dan Tiket Masuk

Pasar Kreatif Jawa Barat: Daya Tarik, Jam Buka, dan Tiket Masuk

Travel Update
Berkunjung ke Pantai Nangasule di Sikka, NTT, Ada Taman Baca Mini

Berkunjung ke Pantai Nangasule di Sikka, NTT, Ada Taman Baca Mini

Jalan Jalan
10 Wisata Malam di Semarang, Ada yang 24 Jam

10 Wisata Malam di Semarang, Ada yang 24 Jam

Jalan Jalan
Tanggapi Larangan 'Study Tour', Menparekraf: Boleh asal Tersertifikasi

Tanggapi Larangan "Study Tour", Menparekraf: Boleh asal Tersertifikasi

Travel Update
Ada Rencana Kenaikan Biaya Visa Schengen 12 Persen per 11 Juni

Ada Rencana Kenaikan Biaya Visa Schengen 12 Persen per 11 Juni

Travel Update
Kasus Covid-19 di Singapura Naik, Tidak ada Larangan Wisata ke Indonesia

Kasus Covid-19 di Singapura Naik, Tidak ada Larangan Wisata ke Indonesia

Travel Update
Museum Kebangkitan Nasional, Saksi Bisu Semangat Pelajar STOVIA

Museum Kebangkitan Nasional, Saksi Bisu Semangat Pelajar STOVIA

Travel Update
World Water Forum 2024 Diharapkan Dorong Percepatan Target Wisatawan 2024

World Water Forum 2024 Diharapkan Dorong Percepatan Target Wisatawan 2024

Travel Update
Tebing di Bali Dikeruk untuk Bangun Hotel, Sandiaga: Dihentikan Sementara

Tebing di Bali Dikeruk untuk Bangun Hotel, Sandiaga: Dihentikan Sementara

Travel Update
Garuda Indonesia dan Singapore Airlines Kerja Sama untuk Program Frequent Flyer

Garuda Indonesia dan Singapore Airlines Kerja Sama untuk Program Frequent Flyer

Travel Update
5 Alasan Pantai Sanglen di Gunungkidul Wajib Dikunjungi

5 Alasan Pantai Sanglen di Gunungkidul Wajib Dikunjungi

Jalan Jalan
Pantai Lakey, Surga Wisata Terbengkalai di Kabupaten Dompu

Pantai Lakey, Surga Wisata Terbengkalai di Kabupaten Dompu

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com