Langit tengah cukup cerah, memberi harapan perjalanan pagi itu akan menyenangkan. Ke Pasar Lama Tangerang, begitu agenda jalan-jalan santai kami beberapa waktu lalu. Pasar ini terletak di Kota Tangerang, Banten. Dari Jakarta, misalnya dari pintu tol Kebon Jeruk, kita bisa menempuhnya dengan berkendara dalam waktu sekitar 30 menit jika lalu lintas lancar.
Pagi itu, areal sekitar pasar basah oleh sisa hujan semalam yang mengguyur wilayah Jabodetabek. Langit yang cukup cerah berpadu dengan udara yang masih cukup sejuk. ”Sejak kecil saya sering sekali menemani ibu belanja di pasar ini,” kenang Indah, teman perjalanan yang tumbuh besar di Tangerang.
Indah lalu mengajak kami memasuki areal pasar tumpah yang memenuhi sisi kanan dan kiri gang yang sempit. Seperti lazimnya pasar, segalanya bisa kita temukan. Mulai dari bahan pangan, perlengkapan sembahyang warga Tionghoa, hingga pakaian dalam. Berbagai ornamen hiasan menjelang perayaan Imlek juga tampak dijual pedagang. Atmosfer Imlek sudah kental terasa. Sebuah lapak bahkan menjual pakaian dalam perempuan berwarna merah menyala dengan aksen hiasan Imlek yang menggoda mata.
Setelah bersantap siang sejenak, Indah lalu mengajak kami menyusuri Gang Cilame, jalan kecil tepat di sisi kiri Kelenteng Boen Tek Bio. Hanya beberapa meter kemudian, di sisi kiri gang dari mulut gang dekat kelenteng, sebuah bangunan tua tampak berdiri menyempil di tengah lapak pedagang.
Inilah Museum Benteng Heritage, yang didirikan Udaya Halim (61) atau Lim Cin Peng sejak dua tahun lalu, setelah merevitalisasi bangunan asli. Di ruang depan, kami disambut beberapa relawan museum dengan hangat. Sebuah barongsai naga berdiri gagah di salah satu sisi dinding. Dengan tiket masuk Rp 20.000 per orang kita bisa berkelana sejenak ditemani relawan yang menerangkan berbagai macam isi museum.
Memasuki ruang tengah museum, kita akan merasa museum ini seperti juga rumah. Dari ruang tengah terlihat dapur terbuka di pojok bangunan dan beberapa meja makan besar yang terbuat dari kayu utuh yang kokoh. Rupanya sang pemilik museum, Udaya, tengah asyik di dapur membersihkan ikan. Udaya dan keluarganya sebenarnya tinggal di Australia, tetapi rutin pulang ke Indonesia hampir setiap bulan.
Kamar khusus
Bangunan itu dikembalikan Udaya ke karakter aslinya. Misalnya saja lantai, yang semula ditutup keramik modern oleh pemilik bangunan lama, oleh Udaya dibongkar lagi sehingga menampakkan tegel tua asli yang tebal dan kokoh. Bangunan museum ini diperkirakan telah berusia 200 tahun, yang berarti dibangun sekitar pertengahan abad ke-17. Beberapa ornamen di bagian dalam bangunan merujuk pada dongeng Delapan Dewa.
Istilah populer Cina Benteng, kata Udaya, mengacu pada nama lama Kota Tangerang, yang disebut Benteng. Benteng tersebut merujuk pada bangunan Benteng Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang terletak di timur Sungai Cisadane, benteng pertahanan dalam rangka untuk menahan serangan dari Kesultanan Banten. Kedatangan orang Tionghoa di Tangerang sendiri tercatat bahkan jauh sebelum VOC tiba, yakni tahun 1407 di Teluk Naga.
Masa tersebut menunjukkan tempo yang bersamaan dengan kedatangan rombongan Cheng Ho di Pulau Jawa. Sejak itulah peleburan budaya Tionghoa dengan penduduk setempat terjadi hingga kini. Berbagai bentuk peleburan mewujud dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari kuliner, sandang, arsitektur bangunan, hingga bahasa.
Di lantai dua museum Benteng Heritage, misalnya, kita bisa melihat kebaya encim kuno, timbangan candu, aneka keramik kuno, uang, foto-foto, dan perabot tua. Di museum ini kita juga diingatkan lagi akan lezatnya aneka kecap bikinan Tangerang. Sejak dahulu, Tangerang memang dikenal sebagai sentra produksi kecap, salah satu jejak kuliner kehadiran orang Tionghoa di Nusantara.
Kami lalu mendengarkan beberapa koleksi piringan hitam dengan gramofon. Mulai dari lagu-lagu retro tahun 1920-an, lagu-lagu Beatles, rekaman lagu ”Indonesia Raya” di tahun 1945, hingga lagu ”Gendjer-gendjer” yang dinyanyikan Bing Slamet dalam album Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso.
Tak terasa waktu sudah memasuki petang. Hujan deras turun lagi mengguyur Bumi tanpa ampun. Udaya lalu memesan bubur ayam Keluarga yang tersohor enaknya di kawasan itu. Sambil menunggu hujan mereda, kami menikmati bubur ayam yang harum dan sedap di tengah suasana museum bermandi cahaya lampion merah. (Sarie Febriane)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.