Akhir bulan Agustus lalu, untuk mengakhiri liburan sekolah musim panas anak-anak kami, daerah Lozère yang kami pilih selama 3 malam. Tak terlalu lama memang, tapi cukup untuk membuat Adam dan Bazile, bisa bersemangat kembali ke sekolah setelah 2 bulan liburan yang sudah kami isi juga dengan liburan di beberapa tempat (mungkin nanti akan keluar juga dalam catatan perjalanan saya di sini).
Mengapa Lozère? Jawabannya, 11 tahun yang lalu kami pernah juga berlibur di daerah ini. Saat itu anak sulung kami Adam baru berusia 3 tahun, dan kami ingin mengulangi kenangan indah itu kali ini berempat dengan si bungsu Bazile. Bila dulu kami memilih bercamping ria, kali ini, Kang Dadang, alias David, yang memang tak menyukai camping, lebih memilih rumah unik sebagai tempat kami menginap.
Jumat pagi kami langsung menuju Saint Etienne du Valdonnez. Ada rasa ketir di hati, karena ramalan cuaca menyatakan selama tiga hari itu cuaca tak akan baik. Hujan dan angin. Tapi apa boleh buat, penyewaan sudah kami bayar, dan janji kepada anak-anak sudah terlanjur terucap. Sepanjang menuju ke sana, langit memang abu-abu, dan udara dingin di musim panas, lumayan membuat kami terpaksa menggunakan baju hangat tebal. Malang nasib kami, tiba-tiba saja hujan mengguyur deras. Ahhhh, kami kecewa sekali...
Semakin jauh mobil kami melaju memasuki daerah Lozère, hujan mulai berhenti, dan matahari mulai nampak. Ada harapan buat kami agar matahari tak kabur lagi terusir oleh hujan. Namun untuk piknik, rasanya belum memungkinkan, rumput-rumput masih terlihat basah dan lembab. Sudah tanggung, dalam beberapa waktu kami sudah akan sampai di tujuan. Mobil kami memasuki desa yang akan kami inapi selama tiga malam, sepi sekali. Begitulah kebanyakan desa di Perancis, kadang di siang hari bagaikan kota tak berpenghuni.
Sesuai petunjuk yang diberikan pemilik penginapan, kami mendapatkan rumah yang kami sewa dengan mudah. Dari tampak luar, tak ada kesan bahwa dulunya tempat ini adalah bekas pemerahan sapi. Hanya bangunan kuno sederhana, di tembok pintu terukir tahun rumah ini dibangun 1876. Wow!
Bangunan itu bertingkat tiga rupanya, lantai pertama adalah gudang dan ruangan kerja pemiliknya. Lantai dua, barulah ruang tamu dapur dan ruang makan. Lantai tiga, dua kamar tidur besar, kamar mandi luas, dan kejutan masih ada lagi satu lantai, yaitu sebelum atap, oleh pemiliknya digunakan sebagai tempat penyimpanan barang. Ruangan yang kami boleh tempati adalah lantai dua dan tiga.
Unik dan nyaman sekali keadaan dalam rumah, semuanya serba kayu dan batu. Produk makanan dan kebersihan yang ditinggalkan produk natural, ekologi dan biologi, cocok sudah dengan kebiasaan kami. Pemandangan yang dijanjikan terpenuhi dari jendela ruang tamu dan kamar adalah gunung. Saat itu kabut sedang berjalan mengelilingi gunung, mungkin akan pergi karena udara mulai semakin cerah, indah sekali.
Rencana piknik pun berubah menjadi makan ayam goreng dan nasi serta sayur segar. Kalau soal nasi, kami sekeluarga memang agak sedikit berlebihan. Pergi kemana saja, kalau memang kudu makan nasi, rice cooker kami bawa pastinya, hal ini kerap membuat orang geleng kepala. Tapi sudah kebiasaan, anak-anak pun doyan sekali makan nasi enak. Di Perancis memang kadang membuat nasi hanya direbus, lalu air rebusan dibuang, dan nasi yang disaring dimakan. Tapi rasanya, eehhhh... buat lidah kami tak cocok sama sekali.
Sepanjang jalan, udara semakin hangat, dan jalan pun semakin menanjak, berbatu. Kami mulai memasuki hutan kecil. Inilah nikmatnya berlibur menyatu dengan alam. Sungai dengan jurang dan air yang mengalir, yang menemani perjalanan kami. Bunyi aliran air, memang terasa sekali membuat hati menjadi adem.
Di kanan kiri, tidak hanya serangga yang aneh-aneh yang kami temui, kupu-kupu dengan sayap seperti robek, motif mata tiga. Lalu lebah yang kegenitan, terbang dari satu bunga ke bunga lainnya. Katak berwarna merah, lompat dan kabur saat berpapasan dengan kami, karena sama-sama kaget! Dan belum lagi terhitung, berapa banyak jenis bunga yang sulit kami temui di kota. Bahkan Kang Dadang sampai dibuat terkagum saat ia menemukan anggrek liar, maklum suami saya ini adalah penggemar berat tanaman anggrek.
Gara-gara kaki kami mulai terasa pegal, langkah pun mulai terasa berat, beginilah kalau sudah lama tak dibiasakan berjalan kaki menanjak. Kang Dadang mulai mencari ranting besar, buat kami berempat sebagai tongkat yang membantu kami berjalan sebagai penopang. Adam dengan bangganya meminjamkan pisau swiss serba guna miliknya kepada ayahnya untuk merapikan dan membuang ranting yang agak tajam. Lumayan, kini kami bisa berjalan kaki dengan sedikit bantuan tongkat.