Orang Pakistan tidak pernah bermain-main ketika menyebut kata ‘mehman’. Arti harafiahnya tamu. Kata itu menyiratkan penghormatan yang luar biasa kepada musafir, kemurahan hati sebagai bagian dari ibadah, dan ketulusan untuk menolong sesama.
Di pintu masuk itu ada dua pilar yang berdekatan, melambangkan Hassan dan Hussain – kedua putra Ali.
"Kamu tahu, di ruangan ini kami menari kalau ada acara pernikahan," terang Majid. Tubuhnya terguncang-guncang, tertawa terpingkal-pingkal, seringkali untuk hal yang saya juga tidak mengerti di mana lucunya.
Ruangan itu berbentuk segi empat. Gelap pekat. Cahaya hanya muncul dari api yang membara di tengah ruangan. Di ketiga sisi ruangan ada panggung dari tanah liat untuk tempat duduk para tamu, atau tempat tidur keluarga di malam hari. Di sisi keempat ada panggung tanah liat juga. Tempatnya lebih tinggi, tengahnya berongga. Inilah tempat kayu kering. Api dinyalakan. Poci teh dipanaskan.
Di atas api dipasang cerobong. Asap dapur menguar ke luar rumah kubus. Itulah warna kedua setelah kelabunya Chapursan yang saya lihat: asap hitam.
"Cerobong ini baru diperkenalkan 30 tahun lalu. Sebelumnya, tanpa cerobong asap, banyak kecelakaan. Rumah kebakaran. Bayi-bayi jadi buta," Majid menjelaskan.
"Oh, bahaya sekali ya," saya melongo, membayangkan bayi-bayi yang harus tidur dalam ruangan berasap karbon.