Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (179): Heera Mandi (1)

Kompas.com - 13/04/2009, 03:33 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

           “Larki-marki dekhaun? Mau aku kasih liat koleksi cewek?” seorang pria berjubah shalwar kamiz yang tidak saya kenal berbisik ketika saya menyusuri gang-gang ruwet di kota kuno Lahore.

Kemegahan Masjid Badshahi, masjid terbesar dari Dinasti Mughal, adalah kebanggaan Lahore dan Pakistan. Tetapi, bayang-bayang masjid ini menaungi daerah prostitusi paling tersohor di negeri ini, bahkan namanya hingga ke negara-negara tetangga. Siapa yang tak tahu nama Heera Mandi (baca: Hira Mandi)? Ratusan tahun lalu, ratusan gadis penari molek ditambah kaum hijra (penari transeksual) meliuk-liukkan badannya menggoda iman di malam yang gelap. Kini, di kota modern Lahore di bawah kibaran bendera Republik Islam Pakistan, gadis-gadis masih menawarkan hiburan malam, namun tersembunyi di balik tembok tebal.

Siang hari, barisan rumah di ruwetnya gang Heera Mandi tak nampak istimewa. Hanya rumah-rumah kuno dari zaman negeri dongeng seribu satu malam. Ada pasar kuno yang ribut, para pria yang semuanya mengenakan ‘seragam’ shalwar kamiz, dan para perempuan yang dibalut purdah hitam pekat.

          “Tidak mahal,” kata lelaki berkumis itu masih penuh semangat, “hanya 300 Rupee saja.”

Di siang hari pun, walaupun tidak semarak malam, transaksi masih terus perjalan.

          “Mujhe dilcaspi nehin. Saya tidak tertarik,” saya bergegas pergi menuju masjid.

Matahari memanggang Lahore sampai 42 derajad. Saya merasakan kesejukan yang melegakan ketika memasuki kawasan Badshahi Masjid. Masjid yang dibangun oleh Aurangzeb pada tahun 1673. Gaya arsitektur Mughal sangat terasa, mengingatkan saya pada Taj Mahal atau Samarkand. Halamannya lapang, bisa menampung sampai 50.000 umat. Gedungnya merah membara dengan barisan kubah yang megah. Doa-doa mengalir lembut, bak angin lembut yang menghapuskan panas membaranya dunia. Saya hanya duduk di atas lantai pualam yang dingin, berkontemplasi, waktu berjam-jam lewat begitu saja.

Tiba-tiba datanglah Jawad, pria muda berkulit gelap dan berkumis tebal. Jawad mengaku bekerja sebagai guru bahasa Inggris sekaligus tour guide. Orangnya ramah dan banyak bicara.

          “Kamu mau ke rumahku? Tak jauh, cuma lima menit jalan kaki,” dia menawarkan, “di sana kamu bisa memotret ibuku dan saudara-saudara perempuanku.”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com