Keindahan alam sekitar Labuan Bajo tak berhenti di ujung senja. Bahkan, sampai ke dasar lautnya pun pesona taman telah menunggu. Sejak pagi, turis banyak yang berlayar menuju pulau sekitar. Beberapa di antaranya mengunjungi Pulau Rinca dan Pulau Komodo untuk menengok binatang komodo (Varanus komodoensis). Penduduk setempat menyebut komodo sebagai ora yang dianggap keajaiban dunia. Sungguh bagai sebuah surga kecil yang kini diincar oleh banyak kepentingan.
Kota Labuan Bajo menjadi ibu kota Kabupaten Manggarai Barat yang baru berdiri tahun 2006. Kawasan wisatanya memanjang tak lebih dari 5 kilometer. Obyek publik terpenting di sekitar Jalan Soekarno-Hatta itu adalah tempat pelelangan ikan, Pelabuhan Labuan Bajo, dan Pasar Labuan Bajo.
Kini, di antara obyek itu bertumbuhan restoran dan hotel. Tak kalah banyaknya adalah jasa penyedia perjalanan ke beberapa pulau di sekitar Labuan Bajo, seperti Pulau Rinca, Pulau Komodo, Pulau Kanawa, dan Pulau Pink. Penyedia jasa menyelam juga ikut menjejali tepi jalan selebar sekitar 8 meter itu.
Di luar keindahan itu, kehidupan sehari-hari Labuan Bajo tak beda dengan kehidupan kota-kota kecil di NTT. Jalanan kota pada siang hari relatif lengang, terlebih pada musim kemarau. Hanya terlihat angkutan kota berwarna hijau, putih, dan ungu mengangkut pelajar pulang sekolah. Beberapa truk dan mobil bak terbuka terparkir menurunkan pasokan kebutuhan sehari-hari. Memang enggan berjalan kaki siang hari di kota Labuan Bajo. Panasnya amat menyengat.
”Kolam Susu”
Wajah kota Labuan Bajo kini sedang berubah. Empat tahun lalu, penduduk setempat menceritakan belum seramai sekarang. Hotel dan restoran belum banyak meskipun hotel terbesar, The Jayakarta Komodo-Flores Suites, sudah berdiri. Wajah-wajah Eropa dan Amerika belum juga banyak berseliweran di kota.
”Keramaiannya memang terasa dalam dua tahun belakangan ini. Apalagi setelah komodo ditetapkan sebagai bagian dari tujuh keajaiban dunia. Investor asing berdatangan. Mereka membuat hotel dan restoran,” kata Kornelius Nando (34), warga Labuan Bajo.
Perubahan cepat itu pula yang memanggil perantau setempat untuk pulang kampung. Nando, misalnya, sempat merantau ke Surabaya selama sepuluh tahun. Dia kembali ke Labuan Bajo pada 2006, dan nyatanya ia ikut menikmati denyut pariwisata di kotanya. Sepulang dari Surabaya, ia mendatangkan benih kayu keras, seperti pohon cengkeh, ke daerah Ruteng, sekitar 130 kilometer dari Labuan Bajo.
Setelah jenuh dengan usaha itu, Nando berdagang ikan di pelabuhan Labuan Bajo. Ikan ia beli dari nelayan setempat. Usahanya melaju pesat. Salah seorang pembelinya adalah pemilik restoran di Jimbaran, Bali. Terkesan dengan keramahan Nando dan kualitas ikan, lobster, serta guritanya, Nando diminta mengirimkan hasil laut ke Jimbaran. Untungnya berlipat. Ia bisa dapat untung di atas Rp 100.000 per kilogram dari ikan dan udang yang ia kirim.
Belakangan, setelah semakin banyak hotel dan restoran di Labuan Bajo, Nando menghentikan pengiriman ke Jimbaran. Ia lebih tertarik memasok kebutuhan makanan laut di kotanya itu. Saat ditemui, Nando baru saja mengirim ikan kerapu ke restoran MadeInItaly, yang letaknya berdempetan dengan sebuah hotel.
Alam laut sekitar Labuan Bajo mengingatkan pada lagu ”Kolam Susu” dari Koes Plus, di mana ”Kail dan jala cukup menghidupimu/ Tiada badai tiada topan kau temui/ Ikan dan udang menghampiri dirimu...”
Nando tidak sedang membual. Paul Rothschild (47), wisatawan asal AS, juga mengagumi kelezatan ikan kerapu Labuan Bajo. ”Rasanya segar, sangat gurih. Berbeda dengan ikan-ikan yang ada di pulau lain,” kata Paul yang baru saja menyantap ikan kerapu bakar tanpa bumbu di tepi pantai.