Seruan yang diikuti dengan bunyi peluit itu menandai dimulainya jemparingan atau lomba panahan gaya Mataram yang diselenggarakan Keraton Yogyakarta setiap hari pasaran Selasa Wage untuk memperingati hari kelahiran Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X.
Satu per satu anak panah melesat dari busur para pemanah tradisional yang duduk bersila di lembaran tikar. Target mereka adalah mencapai poin sebanyak mungkin dengan mengenai target berupa jerami yang dibungkus kain dan diikatkan pada seutas tali dengan jarak 30 meter di depan mereka.
Lomba dilakukan sebanyak 20 rambahan atau putaran. Dalam setiap putaran, setiap peserta berkesempatan memanah sebanyak empat kali. Selama mengikuti lomba, peserta diwajibkan mengenakan busana adat Jawa.
Hadiah utama lomba tersebut berupa piala dan uang tunai Rp 100.000. Juara kedua dan ketiga masing-masing mendapatkan piala serta uang sebesar Rp 75.000 dan Rp 50.000.
Lomba tersebut juga menjadi ajang regenerasi pemanah tradisional. Regenerasi itu, menurut Maryoso, penting karena kesempatan bagi pemanah tradisional untuk berkembang semakin sempit seiring dengan dihapusnya panahan tradisional dari Pekan Olahraga Nasional (PON) tahun 2012.
Meski diselenggarakan secara sederhana, jemparingan masih terus diminati pemanah dari sejumlah daerah. Lomba yang diselingi kehangatan tawa dan canda antar-pemanah itu pun usai saat matahari mulai terbenam ketika pemanah melesatkan anak panah terakhir di pengujung putaran ke-20.