Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kokor Gola, Tradisi Orang Kolang Mengolah Air Enau Jadi Gula Merah

“Kokor Gola” diterjemahkan secara harafiah dalam bahasa Indonesia adalah “kokor” berarti masak dan ”gola” berarti gula berwarna merah. Jadi “Kokor Gola” adalah memasak gula merah dengan bara api.

Ini merupakan warisan leluhur orang Kolang, Ndoso dan Macang Pacar untuk mengolah air enau atau aren menjadi gula merah.

Dari dulu leluhur orang Kolang, Ndoso dan Macang Pacar tidak mengenal gula pasir saat menyuguhkan minuman kepada tamu, baik campur dengan minuman kopi maupun teh gula merah.

Sebelum mengenal gola kolang atau gula merah, orang Kolang biasa minum kopi pait, pahit atau minuman air putih bening yang sudah dimasak.

Dikisahkan secara lisan bahwa para perajin awal di kawasan itu mengenal cara mengolah air enau menjadi gula merah yang sering dikenal Gola Kolang dengan berbagai versi kisahnya.

Awalnya, dituturkan secara lisan bermula dari hewan ternak yang selalu berada di bawah pohon enau atau aren (Arenga pinnata) dan selalu minum tetesan air enau. Pemilik hewan ternak melihat bahwa begitu banyak hewannya selalu berada di sekitar pohon enau dan melihat tetesan air enau itu.

Saat itu juga pemilik berpikir bahwa mengapa hewan peliharaannya selalu minum tetesan air yang keluar dari pohon aren tersebut.

Lalu, pemilik hewan itu mencoba merasakan air aren tersebut. Dan ternyata rasa air aren, enau itu manis. Dan mulai saat itu pemilik hewan ternak itu mencari cara untuk mengolahnya.

Selain itu, Guru Emilianus Egor asal Kampung Wajur, Desa Wajur, Kecamatan Kuwus Barat yang bertugas di Kabupaten Asmat, Papua kepada KompasTravel, Selasa (4/9/2018) mengisahkan, penuturan lisan dari orangtuanya, almarhum Nikolaus Dahu, seorang perajin gola kolang.


Dia menuturkan bahwa ada orang Jepang yang memperkenalkan air enau menjadi gula merah. Mulai saat itu orang Kolang yang berprofesi petani mencoba mengolah secara tradisional dengan bahan-bahannya berasal dari alam.

Saat itu hingga saat ini masih banyak pohon enau yang tumbuh liar di hutan dan perkebunan milik masyarakat setempat.

Proses mengolah yang secara tradisional tahap demi tahap terus ditekunkan dan akhirnya para perajin gola kolang berhasil menemukan cara mengolahnya hingga saat ini.

“Ini merupakan kisah lisan yang terus diinformasikan kepada anak-anaknya tentang awal mula mengolah air enau atau aren menjadi gula merah,” katanya.

Pameran Kokor Gola pada Sail Komodo

Tradisi Kokor Gola yang hanya ada di kawasan Kolang, Ndoso dan Macang Pacar memikat pemerhati dan pegiat tradisi ini untuk memperkenalkan kepada tamu-tamu asing dan Nusantara saat penyelenggaraan Sail Komodo 2013 di Kota Labuan Bajo, ibukota Kabupaten Manggarai Barat.

Warisan ini terus dilestarikan, dipertahankan dan dikembangkan secara terus menerus kepada generasi milenial di kawan Kolang, Ndoso dan Macang Pacar. Walaupun warga setempat mulai bergeser untuk mengolah air enau menjadi tuak, moke lokal.


SMPK Sadar Ranggu Pusat Budidaya Gola Kolang Rebok

Salah satu lembaga pendidikan di Kabupaten Manggarai Barat yang terus mengembangkan tradisi dan kearifan lokal “kokor gola” adalah Sekolah Menengah Pertama Katolik Sadar Ranggu (SMPK) di lembah Ranggu.

Sekolah ini dirintis imam misionaris Hongaria, Pastor Franz Mezaros, SVD bersama dengan sejumlah tokoh masyarakat setempat saat imam ini menjadi Pastor Paroki Roh Kudus Ranggu di kala itu.

Saat ini SMPK Sadar Ranggu dibawah naungan Yayasan Persekolahan Umat Katolik (SUKMA) Keuskupan Ruteng sebagai pusat budidaya gola kolang rebok, semut.

Pameran Olah Gola Kolang Rebok Saat Kemah Pendidikan

Yayasan Persekolahan Umat Katolik ( SUKMA) Keuskupan Ruteng menggelar kegiatan berkemah pendidikan, Education Camping dengan tema" Osis sebagai medium pembentukan karakter” bagi sekolah-sekolah swasta di bawah naungan yayasan ini di Reo, Kecamatan Reo, Kevikepan Pesisir, Kabupaten Manggarai.


Wakil Kepala Sekolah SMPK Sadar Ranggu, Silvester Gunas, kepada KompasTravel menjelaskan, praktik pembuatan gula semut (gola kolang semut, rebok) di Reo, Kecamatan Reo, Kabupaten Manggarai saat “kemah pendidikan, Education Camping, merupakan jawaban tuntutan kurikulum K13 pada Lembaga Pendidikan SMPK Sadar Ranggu dengan memasukkan muatan lokal (mulok) budidaya gula merah.

Dengan memasukkan pendidikan muatan lokal, lanjut Silvester, pihaknya mengajarkan kepada anak didik kearifan lokal yang sudah mulai bergeser dari gola kolang ke tuak, moke atau minuman keras lokal.

“Diharapkan siswa-siswi SMPK Sadar Ranggu dengan pendidikan budidaya gula merah tetap melestarikan pembuatan gula merah dengan proses pembuatan gula merah.

Budidaya Gula Merah sebagai mata pelajaran muatan Lokal sudah di ajarkan sejak tahun ajaran 2014/2015 sampai sekarang,” harapnya.

Salah Satu Guru SMA Sanctissima Trinitas Ranggu, Arontinus Hanggur kepada KompasTravel, Senin (3/9/2018) menjelaskan bahwa “kokor gola kolang” merupakan kebiasaan orang tua di kawasan Kolang sejak zaman dulu hingga sekarang.


Hanggur menjelaskan tradisi “kokor gola kolang” lebih unggul dari moke, tuak karena sudah dilakukan penelitian oleh tim peneliti luar negeri, khususnya dari Amerika.

Sedangkan moke, tuak belum terbukti meski yang paling banyak menghasilkan uang adalah moke, tuak tetapi tidak menggaet wisatawan asing dan Nusantara.

Sedangkan “kokor gola kolang” sudah ditampilkan pada saat Sail Komodo 2013 oleh orang Kolang, khususnya para perajin dari Kampung Pata Ranggu Kolang.

Menurut Hanggur, air enau atau aren yang bening, orang Kolang menyebutnya "wae minse" serta gula merah bisa mencerdaskan anak apabila dikonsumsi oleh ibu-ibu yang sedang mengandung. Selain itu juga menggantikan fungsi madu saat anak sedang sakit, bahkan obat maag.

Yuvenalis Aquino Kurniawan, salah satu staf Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Manggarai Barat kepada KompasTravel, Selasa (4/9/2018) menjelaskan, pameran “kokor gola kolang” sudah pernah ditampilkan di Labuan Bajo.

Ke depan direncanakan Festival Kokor Gola Kolang dipadukan dengan la’it gola kolang langsung saat proses masaknya dengan sombek, semacam sendok makan namun terbuat dari kayu. Dan juga atraksi rokot gola batang, bungkus gula batang dengan menggunakan pelepah pohon enau.

“Orang Kolang di Flores selalu memanfaatkan bahan-bahan dari alam yang ramah lingkungan. Saya sedang memikirkan teknik menyimpan gola rebok dengan memakai pelepah pohon enau karena saat ini gola rebok dibungkus dengan plastik yang tidak ramah lingkungan. Apabila gola rebok, semut dibungkus dengan pelepah pohon enau, itu sangat ramah lingkungan,” jelasnya.

Cara Mengolah Wae Minse Jadi Gola Kolang

Tak semua orang di kawasan Kolang bisa mengolah wae minse. Hanya orang-orang yang terampil dan memiliki keahlian khusus bisa mengolahnya. Kompas pernah mengangkat artikel tentang proses produksi “gola kolang” oleh Frans Sarong.

Orang Kolang biasa menyebut “pante minse”. Pante itu sebuah alat khusus dari besi yang tajam, sedang minse, bahasa setempat menyebut air enau, aren. Orang Kolang menyebutnya wae minse, air enau berwarna bening dan sejuk apabila diminum pada pagi dan sore hari.

Awalnya perajin melihat pohon enau atau bahasa setem[at menyebutnya raping yang memiliki tanda-tanda bahwa pohon itu bisa menghasilkan air enau.


Tak semua pohon enau bisa menghasilkan air enau. Ada pohon enau muda atau “raping rana” yang menghasilkan air enau dan pohon enau tua atau "raping boghong" yang tidak bisa menghasilkan air enau.

Selanjutnya perajin menyiapkan bahan-bahannya, seperti tangga dari bambu, orang setempat menyebutnya rede. Kemudian sang perajin mencari kayu ara, dan lainnya untuk memukul tandannya, orang setempat menyebutnya "ndara raping". Setiap pagi dan sore selama kurang lebih sebulan, perajin memukul tandannya sampai masak.

Selama proses itu berlangsung, perajin melihat tanda-tanda ada air nira dimana di tandannya ada basah. Sesudah itu, perajin memakai alat tajam dari besi itu yang disebut pante mengiris tandannya itu dengan cara dilubang di bagian tengahnya.

Jika ada tanda tetesan nira itu keluar maka kemudian perajin mengambil daun, seperti daun pak, ditambahkan dengan berbagai ramuan lainnya sehingga air nira itu bersih dan bening serta tidak pahit.

Apabila itu sudah dilakukan maka tandannya itu dibungkus dengan memakai ijuk halus supaya semut dan kalong tidak masuk dalam lubang air nira tersebut.

Semua proses itu berjalan lancar maka, tetesan air nira, minse ditadah memakai bambu betong besar dan panjang, orang setempat menyebut gogong.


Banyak lagu-lagu daerah yang memberikan kebanggaan kepada perajin gola kolang, salah satu syairnya adalah “hale kolang kokor gola, kokor gola hale kolang”.

Sebelum bambu betong besar, gogong dengan ukuran dua sampai tiga meter itu menadah air nira, wae minse, terlebih dahulu dibersihkan bagian dalamnya yang berlubang dengan memakai ijuk hitam, bahasa setempat menyebutnya wunut.

Ada dua model ijuk hitam, yang keras dan halus. Jadi perajin, penderes mengambil ijuk hitam halus, wunut halus sebagai penyaring di mulut bambu betong besar ketika menadah air nira tersebut. Bahan itu digunakan untuk membersihkan sisa-sisa kotoran di dalam bambu betong besar, gogong itu di sebuah kolam, tiwu yang berada di sekitar pohon nira tersebut.

Kokor Gola Ramah Lingkungan

Sebelum air nira, wae minse berubah menjadi gula merah, penderes, perajin memanfaatkan bahan-bahan yang bersumber dari alam. Bahan-bahan itu seperti kayu untuk memukul batang, tewa raping. Kayu itu berukuran pendek, biasanya kayu ara dan kayu lainnya yang sesuai dengan pohon enau tersebut.


Selanjutnya kayu api untuk memasak air nira dalam sebuah wadah besar, bahasa setempat menyebutnya sewe, bahan ini terbuat dari besi. Dan juga pante, alat dari besi kecil yang tajam. Memang hanya dua bahan ini yang berasal dari pabrik. Selebihnya berasal dari bahan-bahan alam.

Semua bahan-bahan yang berasal dari alam ini apabila tidak dipakai lagi oleh penderes air nira, maka semua dibuang ke alam lagi dan lapuk sehingga menyuburkan tanah. Bahan-bahan ini memberikan kesuburan bagi tanah. Bahan-bahan ini dibuang menyebabkan humus tanah.

Selain itu bahan-bahan untuk di campur dalam air nira saat proses memasak, diantaranya, buah kemiri, buah pandu dan lainnya. Buah-buah ini di haluskan dan di campur ke dalam wadah besi itu serta di aduk-aduk. Semua buah ini larut dalam air nira yang sedang masak.

Wae Minse Membuat Orang Cerdas

Dikisahkan secara lisan bahwa zaman dulu saat anak-anak dari kawasan Kolang mengenyam pendidikan guru, seperti sekolah pendidikan guru (SPG) di Kota Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai memiliki kecerdasan di atas rata-rata dalam ilmu matematika, berhitung, bahkan mungkin di sekolah Seminari.

Hal ini karena kebiasaan orangtua di kawasan Kolang menyuguhkan minuman air enau, wae minse pada pagi dan sore hari kepada anak-anak mereka.

Pengakuan ini pernah diungkapkan mantan murid Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Setia Bakti Ruteng, yang saat ini sudah pensiun dari guru, Maria Margaretha Bupu kepada KompasTravel, Selasa (4/9/2018) bahwa rekan-rekannya yang mengenyam pendidikan guru di SPG Setia Bakti, yang sering disebut SPG Tubi memiliki kecerdasan dalam ilmu berhitung, matematika.

“Saya punya rekan-rekan yang berasal dari kawasan Kolang sangat cerdas dalam ilmu berhitung, matematika karena mereka ceritakan bahwa orangtua mereka sering menyuguhkan air nira bening, wae minse. Ini pengalaman yang saya temukan saat belajar bersama mereka di lembaga pendidikan tersebut,” jelasnya.

https://travel.kompas.com/read/2018/09/13/104213627/kokor-gola-tradisi-orang-kolang-mengolah-air-enau-jadi-gula-merah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke