Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tumbilohote, Tradisi Khas Gorontalo Menyambut Idul Fitri

JAKARTA, KOMPAS.com – Hari Raya Idul Fitri, juga disebut lebaran, merupakan perayaan keagamaan yang paling dinanti oleh umat Muslim di dunia.

Guna merayakannya, sebagian masyarakat bersiap-siap membuat kue atau hidangan khas lebaran seperti opor atau ketupat.

Kendati demikian, ada tradisi menjelang lebaran yang berbeda yang berasal dari Gorontalo. Namanya adalah Tumbilotohe. Artinya adalah saatnya memasang lampu.

“(Tradisi ini) sudah berusia ratusan tahun. Bermula adri salah satu warisan adat. Dari 185 butir adat, ada satu namanya Tumbilotohe. (Tumbilotohe sudah ada) sejak abad ke-16,” kata Sekretaris Jenderal Dewan Adat Gorontalo, Alim Niode, dalam pertemuan virtual bersama IndonesiaTravel.id, Kamis (21/5/2020).

Alim menuturkan, Tumbilotohe lebih tepatnya sudah ada sejak tahun 1525.

Tahun tersebut diketahui sebagai tahun penanda masuknya Islam sebagai agama resmi Kerajaan Gorontalo saat Sultan Amai memerintah di sana pada saat itu. Bahkan, Tumbilotohe diinisasi oleh Sultan Amai sendiri.

Ramadhan tahun ini dimulai pada 24 April 2020. Maka tanggal 27 Ramadhan jatuh pada 19 Mei 2020. Malam lailatur qadar dikenal sebagai hari turunnya berkah di tengah kegelapan malam.

Didorong dengan keinginan untuk tetap menjalankan ibadah, serta musyawarah guna merencanakan keperluan ibadah Hari Raya Idul Fitri, masyarakat mulai memasang lampu.

“Masyarakat mulai perorangan memasang lampu. Awalnya berbahan bakar damar (getah pohon). (Lampu) disebut tohetutu. Saat akan menuju masjid, karena gelap, tohetutu turut serta dibawa seperti obor,” kata Alim.

“Orang beriringan menuju masjid membawa obor (tohetutu) berbahan damar. Lalu tohetutu ditancapkan di depan masjid, di jalanan menuju masjid. Sehingga (jalanan) terang dari rumah ke masjid,” lanjutnya.

Lambat laun, kebiasaan tersebut menjadi tradisi sepanjang tiga hari yang melekat dengan malam lailatur qadar. Kebiasaan tersebut lantas disebut dengan Tumbilotohe.

Ada pun kegiatan yang dimaksud salah satunya adalah membuat wewangian untuk baju selama tradisi Tumbilotohe.

“Para ibu rumah tangga menyiapkan langgilo (wewangian) saat menjelang Ramadhan. Onumo (nilam), sereh (dan tanaman lain) semua dicampur jadi satu. Dipanaskan sampai mendidih, kemudian baju-baju dimasukkan ke dalam larutan,” kata Alim.

Nantinya, baju yang sudah diberi wewangian akan dipakai pada hari pertama Tumbilotohe saat menyalakan lampu.

Saat ini, di sana tidak ada aturan khusus akan pakaian apa yang harus dikenakan saat melakukan tradisi. Namun yang pasti seseorang harus bersih dan rapih.

Kendati demikian, Alim menuturkan bahwa zaman dulu ada pakaian khas bernama bele uto. Sejenis kain sarung yang digunakan oleh para wanita sebelum pergi keluar rumah.

Selain wewangian, ada juga kegiatan mengaji dari rumah ke rumah sembari melakukan wunungo (melantunkan syair).

Syair yang berkaitan dengan Islam tersebut dilantunkan saat pengajian secara beramai-ramai.

“(Sebelum melantunkan syair) orang berkumpul untuk mengaji. Satu orang mengaji secara bergantian," kata Alim.

"Mereka saling mengoreksi, ini termasuk melatih dan memperlancar (membaca Al-Quran). Saat mengaji, mereka gantian perorangan sebelum masing-masing membuka suara untuk wunungo," lanjutnya.

Kegiatan pengajian dilakukan oleh semua umat Muslim. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Biasanya, pengajian dilakukan secara berkelompok dan dibedakan antara perempuan dan laki-laki.

Syarat dalam menyalakan lampu dalam Tumbilotohe

Alim menuturkan bahwa terdapat syarat khusus dalam memasang lampu pertama. Orang yang melakukannya harus “dituakan”.

Untuk tingkat daerah, pemasangan lampu diwakili oleh kepala desa, camat, bupati, dan gubernur. Sementara untuk tingkat keluarga adalah kepala keluarga.

“Dituakan dalam artian seseorang memiliki integritas yang baik dan pantas untuk memimpin. Terutama dari sisi kebersihan batin yang dijaga selma 26 hari sebelum malam pasang lampu,” kata Alim.

“Menyalakan lampu adalah simbol dari menyalakan lampu batin yang siap menyambut malam lailatul qadar. Itu nilai penting dalam Tumbilotohe,” imbuhnya.

Orang-orang di luar Provinsi Gorontalo pun turut meramaikan tradisi yang dijadikan sebagai festival. Tidak hanya itu, wisatawan mancanegara (wisman) juga terlihat beberapa kali meramaikannya.

“Karena pengaruh Tumbilotohe difestivalkan, ada beberapa bule mengambil gambar di beberapa pusat-pusat keramaian. Pemicu (keramaian di Gorontalo) karena di festival. Ini memicu kunjungan wisata,” kata Alim.

Dalam festival, biasanya masyarakat akan mengadakan kegiatan mengaji bersama. Ada juga lomba Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) dan lomba menghafal Al-Quran.

Sementara untuk tradisi Tumbilotohe sendiri, dalam festival tersebut masyarakat berpartisipasi dalam lomba menyajikan Tumbilotohe terbaik.

“Dulu tidak dikompetisikan. Sejak festival, setiap kampung berlomba untuk menjadi yang terbaik. Per kabupaten, kecamatan. Lomba mulai dari desa sampai tingkat provinsi,” tutur Alim.

Kendati kegiatan menyalakan lampu masih eksis hingga kini, namun Alim mengatakan bahwa kegiatan wewangian dan pengajian dari rumah ke rumah sudah mulai pudar sejak tahun 2000-an.

Keduanya hanya marak terlihat di pedesaan saja sementara di perkotaan hanya terlihat pemasangan lampu.

Pemasangan lampu sendiri di beberapa tempat sudah tidak lagi hanya lampu tradisional, namun juga lampu listrik warna-warni.

Getah pun diganti menjadi minyak tanah, dan wadah lampu sudah menggunakan wadah botol.

Meski begitu, Ali mengatakan bahwa masyarakat yang sudah tidak lagi melakukan pengajian dari rumah ke rumah tetap mengaji di dalam rumah.

Tradisi Tumbilotohe di tengah pandemi virus corona

Tradisi Tumbilotohe mengharuskan masyarakat Gorontalo untuk berkumpul bersama di tempat-tempat yang ramai.

Pandemi virus corona yang melanda Indonesia membuat tradisi menjadi sepi tahun ini. Sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.

“Sepanjang yang saya lihat, ini betul-betul sangat berbeda karena hanya ada beberapa lampu yang dipasang. Di depan rumah, pintu gerbang masjid. Di jalan hanya sedikit,” ujar Alim.

Untuk pengajian dari rumah ke rumah yang masih dilakukan masyarakat di pedesaan, Alim menuturkan bahwa untuk saat ini mereka melakukannya di rumah masing-masing.

Sementara mereka yang tinggal di perkotaan, terlebih yang masih mengaji secara bersama-sama, melakukannya secara daring.

https://travel.kompas.com/read/2020/05/22/095100827/tumbilohote-tradisi-khas-gorontalo-menyambut-idul-fitri

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke