Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sejarah Masjid Sunda Kelapa, Masjid Tanpa Kubah di Menteng

KOMPAS.com -  Masjid Agung Sunda Kelapa ialah wujud nyata dari penantian panjang sebuah rumah ibadah bagi umat muslim di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

Inisiatif pembangunan Masjid Agung Sunda Kelapa telah dimulai sekitar 1951. Namun sayangnya pembangunan masjid ini mengalami banyak kendala.

Beberapa kendala yang terjadi seperti sulitnya perizinan, terjadinya peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30 SPKI), hingga terbatasnya dana pembangunan.

"Pembangunan masjid ini baru bisa terealisasi sekitar 1968 saat peletakkan batu pertama, dan diresmikan pada 1971 oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu Pak Ali Sadikin," kata Sekretariat Masjid Agung Sunda Kelapa M Reno Fathur Rahman kepada Kompas.com, Rabu (29/3/2023).

Masjid yang sebenarnya sudah ada sejak 1908

Dikutip dari buku Menyalakan Pelita Membagi Cahaya: Perjalanan 50 Tahun Masjid Agung Sunda Kelapa (2022) dijelaskan bahwa keberadaan masjid di Kawasan Menteng sebenarnya sudah ada sejak 1908.

Masjid tersebut dulunya berada di Jalan Latuharhari. Akan tetapi, masjid ini dipindahkan ke Jalan Tangkuban Perahu karena lahan akan digunakan untuk proyek Niew Gondangdia.

Setelahnya, kawasan Menteng berubah menjadi kawasan elit Belanda saat masa penjajahan hingga Indonesia merdeka. 

Kawasan Menteng pada saat itu didominasi oleh bangunan rumah mewah serta perkantoran. Sayangnya, tidak ditemukan masjid untuk tempat ibadah umat Islam di sana.

"Setelah Indonesia merdeka, banyak yang mengisi rumah di kawasan ini, tapi susah mencari tempat ibadah buat umat muslim. Alhasil, dicetuskan untuk membangun masjid di kawasan Menteng," jelas Reno.

Inisiatif pembangunan masjid di kawasan Menteng digagas oleh H.B.R Motik dan Subhan sekitar 1951.

Mulanya, lokasi yang akan dijadikan sebagai masjid yaitu kawasan di sekitar Taman Sunda Kelapa.

Akan tetapi usulan tersebut ditolak oleh pejabat pemerintahan DKI Jakarta pada saat itu. Rencana pembangunan masjid sempat ditunda cukup lama karena peristiwa G30 SPKI.

Pascaperistiwsa G30 SPKI, harapan mendirikan masjid kembali tumbuh dan direncanakan akan mengalihfungsikan gedung Adhuc Stat (sekarang gedung Bappenas) menjadi masjid.

Hal ini kemudian didukung dengan dilantiknya Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI Jakarta. Berangkat dari situ, dibentuklah panitia untuk mendirikan masjid di Menteng.

Adapun pertimbangan pemilihan gedung Adhuc Stat (gedung Bappenas) sebagai masjid yaitu karena lokasinya yang strategis, kawasan yang cukup luas, dan tidak terlalu mengeluarkan banyak biaya untuk pengalihfungsian bangunan.

Akan tetapi, usulan ini ditolak gubernur karena gedung tersebut masih diperlukan untuk kepentingan pemerintah.

Tak patah arang, pihak panitia kembali menghadap Gubernur untuk meminta izin menggunakan Taman Sunda Kelapa sebagai lokasi masjid.

Usulan tersebut kemudian disetujui oleh Gubernur Ali Sadikin yang ditandai keluarnya surat pada 11 Desember 1967 tentang penyerahan seluruh lapangan Taman Sunda Kelapa (kecuali gedung Bappenas) kepada Yayasan Islam Sunda Kelapa.

Masjid tanpa kubah

Tahap awal pembangunan Masjid Agung Sunda Kelapa dimulai dengan membuat desain masjid. Arsitek yang ditunjuk untuk mendesain Masjid Agung Sunda Kelapa yaitu Gustaf Abbas.

Pamor Gustaf Abbas pada saat itu sedang banyak dibicarakan karena kiprahnya mendesain Masjid Salman Institut Teknologi Bandung (ITB).

"Gustaf Abbas (dalam mendesain masjid) mengambil sejarah Jakarta sebagai kota pelabuhan. Gustaf merancang bentuk atap masjid seperti kapal dan pelabuhan," kata Reno.

Lebih lanjut Reno mengatakan bahwa arsitektur Masjid Agung Sunda Kelapa memiliki dua bagian layaknya kapal. Bagian pertama disebut sebagai Serambi Jakarta (seperti dermaga), dan bagian kedua disebut sebagai lambung kapal (ruang ibadah).

"Jadi, ruang utama ibadah itu seperti lambung kapal. Diibaratkan seperi orang yang naik ke kapal Nabi Nuh, yaitu orang yang taat kapada Tuhan dan selamat," ujar Reno.

Dari segi arsitektur, bangunan Masjid Agung Sunda Kelapa ini cukup unik karena bagian atapnya tidak memiliki kubah dan bentuknya serupa kapal.

Bukan tanpa alasan, Reno mengatakan bahwa pada saat itu kubah dianggap sebagai ciri arsitektur dari Timur Tengah. Sementara orang yang tinggal di kawasan Menteng lebih modern dan merasa tidak perlu kubah.

" Yang penting space-nya bagus dan menghindari tiang. Bangunan yang menggunakan kubah itu harus menggunakan tiang sebagai penopang," katanya.

Reno menilai, tiadanya kubah di Masjid Agung Sunda Kelapa kini menjadi kelebihan karena ruangan utama masjid terasa lebih lapang tanpa terhalang tiang penopang tugu.

https://travel.kompas.com/read/2023/04/06/143100727/sejarah-masjid-sunda-kelapa-masjid-tanpa-kubah-di-menteng

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke